Afifah, putri salah
satu orang terpandang di wilayah ini. Hmm, terlalu sempit jika hanya mencakup
wilayah ini. Ayahnya adalah pensiunan jenderal,
pasti beliau juga terpandang di wilayah lain. Kecantikan dan keanggunan
Afifah tak ada yang meragukannya. Cerdas, berprestasi, dan disegani. Kedermawanannya
pun tak dipungkiri. Ia sering bolak-balik ke luar negeri sebagai utusan
universitasnya dalam berbagai urusan, ataupun karena kepentingan lainnya.
Sekarang, di tengah kuliah S2 yang ia jalani, Afifah sibuk dengan pekerjaanya
sebagai seorang dosen muda. Selain itu, usaha konveksinya telah menyerap banyak
tenaga kerja.
Berita yang beredar,
kudengar Afifah telah terang-terangan menolak beberapa pria pilihan yang
dicalonkan ayahandanya sebagai pendamping hidup. Alasannya tak berubah. Dia
mendamba seorang pria yang telah lama ia kagumi untuk datang ke rumah dan
meminangnya sebagai istri. Sayang, pria itu tak kunjung datang dan masih
menjadi misteri. Siapa gerangan ?
Desas-desus yang
menyebar, pria itu adalah putra pertama seorang janda beranak tiga. Janda itu
pun bukan pensiunan pegawai negeri, keturunan priyayi, ataupun bersuami haji.
Biasa saja. Putra pertamanya, pria idaman Afifah itu , adalah seorang pegawai
bank di salah satu bank ternama. Tak terlalu kaya, namun penghasilannya
mencukupi kebutuhan keluarga. Lebih dari itu, satu hal yang menarik dari
pribadinya adalah bagaimana keteguhannya memegang agama. Jika bicara soal rupa,
mereka berkata bahwa pria itu memang lumayan rupawan. Walau tak terlalu tampan,
namun pribadinya begitu menawan.
Aku diam, tak mengerti
dan terkejut ketika semua yang dibicarakan orang itu ternyata mengarah
kepadaku! Aku! Akulah pria itu! Aku sendiri tak sepenuhnya yakin. Mungkin saja karena
aku anak seorang janda, dan aku bekerja di bank juga, lantas mereka menunjukku
sebagai pria itu. Mereka pasti hanya menerka dan mengada-ada. Mana mungkin
gadis semulia Afifah memimpikanku dalam tidurnya, sementara aku membayangkan
diriku sendiri menjadi pendampingnya pun terasa tak pantas! Gadis seperti
Afifah, hanya pantas bersama pria yang bukan sembarangan.
Aku sendiri tak pernah
nyata-nyata mencari tahu atau mengkonfirmasi tentang kebenaran cerita itu. Aku
menjalani hidupku seperti biasa, walau sejujurnya akupun bertanya-tanya dalam
hati ‘benarkah begitu? Jika iya, bagaimana mungkin?’. Sementara itu, beberapa
teman dan kerabat telah mendorongku untuk segera saja melamar Afifah. Jika
benar, maka jawabannya jelas bahwa aku diterima. Jika bukan aku, tak ada
salahnya mencoba dulu. Toh tak ada beban jika memang ditolak, sudah sepantasnya
begitu. Dengan semua dorongan itu, aku hanya bisa diam. Masih tak mengerti.
Selama ini, aku hanya berinteraksi
dengan Afifah di kegiatan masjid. Tentu saja, karena lahan urusanku dengannya
jauh berbeda. Kecuali, kegiatan kerohanian di Masjid yang memang menjadi urusan
kami bersama beberapa muda-mudi lainnya. Aku sendiri mengenalnya beberapa tahun
yang lalu, ketika ia pindah ke sini. Saat itu aku kelas 3 SMA, sibuk dengan
persiapan ujian, sedangkan dia satu tahun di bawahku. Semua biasa saja,
layaknya teman sampai sekarang. Paling tidak, kalau Afifah memerlukan bantuanku
dalam belajar, aku bersedia membantu semampuku. Selebihnya, tak ada yang
istimewa...
Desas-desus memanas. Tempo
hari, seorang ABRI dari luar kota itu tak pernah lagi datang menemui Afifah. Berita
bahwa ‘teman dekat’ Afifah itu ditolaknya, mewabah ke setiap sudut desa.
Beberapa orang tak percaya dan ada juga menampiknya, sebagian lagi menanggapinya
dengan bahagia, selebihnya, bagian yang terbanyak, masih bertanya-tanya
‘benarkah?’. Dan ternyata, aku masuk dalam golongan yang ketiga itu! Namun, aku
tak seperti mereka yang lantas sibuk mencari tahu kebenarannya.
Lepas dari desas-desus
tentang Afifah, aku tetap berkonsenterasi pada pekerjaanku dan usaha kain batik
yang sekarang dikelola oleh Bilal, adik laki-lakiku. Dia kini sedang menempuh
semester terakhir kuliahnya. Sementara itu, Alya, adik terakhirku masih
berkecimpung di tahun kedua masa abu-abu putihnya. Ibu pun masih bertahan pada
pekerjaanya sebagai penjahit. Baginya, menjahit bukan sekadar pekerjaan,
melainkan hobi yang telah ia tekuni sejak remaja dahulu. Bedanya, sekarang ibu
menjalani urusan jahit-menjahit tanpa harus mengejar target penghasilan, karena
selalu aku katakan, aku bisa mengatasinya.
Bilal mengambil jurusan
bisnis di salah satu universitas bergengsi di Jakarta. Bukan untuk cari nama,
sejak awal memang di sanalah ia menggantungkan cita-citanya dan aku tahu, ia
pun berusaha mati-matian. Tak heran, prestasi akademiknya pun cukup memuaskan,
bahkan ia sering sibuk dengan berbagai organisasi. Namun, akhir-akhir ini,
kulihat ada kesibukan lain dalam keseharian Bilal. Wanita. Ya, seorang gadis
asal Aceh telah menjadi tempat bagi Bilal untuk menggantungkan cita-citanya
yang lebih jauh. Sementara itu, Alya tetap memberi seluruh perhatiannya pada
sekolah. Aku memang benar-benar memperhatikan Alya. Terang saja, sejak kepergian
Bapak, akulah walinya.
Bicara soal wanita,
baiklah. Ada seorang teman kerja yang memang telah menyatakan ketertarikannya
padaku. Namun, aku tegaskan dengan baik-baik bahwa sebaiknya ia jangan
mengharapkanku. Bukan apa-apa, sejujurnya selama ini aku tak menyimpan perasaan
yang lebih dari sebagai teman dan rekan kerja padanya. Sebenarnya, ada satu gadis
yang pernah mengusik hatiku. Namanya Fitri, temanku saat kuliah dulu. Sekarang
ia telah berumah tangga dengan pria yang sejak dulu dicintainya, bahkan mereka
sedang menantikan kelahiran putra pertama mereka. Aku pun telah merelakan Fitri
dan tak pernah mengingat lagi perasaan itu. Dia sudah bahagia, dan aku tidak
menderita. Kami masih berteman seperti dulu. Selebihnya, ibu yang sibuk
menceritakan perihal si A, si B, si C, sampai Afifah padaku, dan satu nama lagi
yang terdengar sesering nama Afifah disebut. Lagi-lagi, aku hanya tersenyum
dalam diam.
“Assalamu’alaikum,“
Sapa seseorang dari luar.
“Wa’alaikumsalam,” Ibu
menjawabnya dengan lantang, lalu berjalan ke arah pintu depan.
“Eh, Nak Nurul. Mari,
masuk,”
Aku tidak mendengar
dengan jelas siapa yang datang. Mungkin salah satu pelanggan ibu yang hendak
mengambil titipan jahitnya. Tak lama kemudian, kudengar mereka banyak mengobrol
dengan akrab.
“Mas,”
Tiba-tiba perhatianku
tersita oleh suara Bilal yang membuka pintu kamarku.
“Ya. Apa?”
“Aku ada ketemu dosen
pembimbing, mungkin sampai sore. Kalau Mas ada waktu, mampirlah ke toko. Nanti
aku nyusul lepas maghrib, insya Allah. Bisa?” Beberapa waktu terakhir, logat
bicara Bilal agak ke-Aceh-Acehan. Aku selelu geli dibuatnya.
Aku menghela napas. Aku
harus menemui atasanku sore ini.
“Ngga bisa janji,
Lal... Mas mungkin pulang sore juga, malah mungkin malem. Ntar Mas usahain. Emang
kenapa?”
“Nggak apa, cuma Ibu
mau ke sana, jadi aku berangkat sama ibu, terus ibu pulangnya sama Mas. Gitu.
Lagian Mas udah agak lama kan nggak ke toko, mainlah,”
“Oke, insya Allah,ya !
Tapi, di toko ada orang kan? Jadi kalau Mas nggak bisa, seenggaknya ada yang
antar ibu pulang,”
“Ada, Burhan sama
Milun. Koco nggak jaga, katanya istrinya demam,”
Benar juga soal aku
jarang mampir ke toko. Akhir-akhir ini aku terlalu sibuk. Aku mengiyakan
permintaan Bilal, kemudian ia menghilang ke luar. Di sisi lain, ruang tamu
sudah sepi. Pelanggan ibu sudah pergi.
Tak kusangka, urusan
dengan atasan kali ini cepat selesai. Selepas asar, aku sudah meluncur ke toko
dengan motorku. Tiba di toko, aku sangat terkejut. Afifah, gadis itu ada di
sana! Ia sedang berbincang dengan ibu begitu akrab, senyum mereka terurai
dengan indah. Sekitar sedetik kemudian, Afifah terkejut saat mengetahui
kedatanganku. Ia tersenyum.
“Eh, Mas Alwi,”
Aku memberi salam dan menyalami
tangan ibu, lalu melihat ke arah Afifah.
“Sudah pulang, Mas
Alwi? Biasanya sampe lebih sore?” katanya membuka obrolan.
“Iya, alhamdulillah,
urusannya cepet beres tadi. Udah lama di sini?”
“Ngga, baru aja kok,”
jawabnya dengan senyum. Cantik.
Selama di toko, kulihat
Afifah cukup akrab dengan ibu. Ia banyak bercerita, dan ibu dengan senang
mendengarkan sambil sesekali bertanya dan menanggapi. Sementara itu, aku sibuk
menekuni laporan keuangan toko yang ditulis Burhan hari ini. Diam-diam, tak
kupungkiri kecantikan Afifah. Tiap gerakannya begitu terpelajar, layak sebagai
seorang yang berpendidikan tinggi dan cerdas. Lebih dari itu, sejak awal
mengenalnya, ia telah istiqomah dalam menutup aurat.
Hari Minggu...
Aku sudah berangkat ke
kantor tadi pagi, namun ternyata acara meeting ditunda sampai besok. Ini
kesempatan mempersiapkan diri untuk presentasi. Oleh karena itu, Pak Bambang,
atasanku, mengizinkan aku pulang lebih awal. Rumah lengang ketika aku sampai.
Ibu tak ada, Alya dan Bilal juga. Alya sudah jelas sedang ada malam pelantikan
di sekolahnya, sehingga ia memang menginap di sekolah sejak kemarin. Bilal ada
urusan dengan dosennya. Lalu, ke mana ibu? Aku coba hubungi ponselnya, ternyata
deringnya terdengar dari buffet ruang tengah. ibu tak membawa ponselnya.
Setelah coba mengingat, semalam ibu berkata bahwa keperluan dapur mulai habis.
Jadi, kupikir beliau sedang ke pasar.
Setelah menunaikan
sholat dhuha, aku kembali menekuni bahan presentasi di laptopku. Karena terlalu
asyik, tiba-tiba sudah kudengar suara ibu di rumah. Aku terkesiap. Baru saja
aku hendak memanggil, ada suara lain yang menimpali suara ibu. Mereka masih
berbicara ke sana-sini, dari soal harga di pasar, sampai belanjaan ibu yang
tertinggal. Lalu mereka tertawa dengan renyah.
“Alwi?? Kamu di rumah,
Le??” Ibu memanggilku. Tentu saja ia tahu, motorku ada di teras.
“Injih, Bu,” Aku keluar
kamar, menemui ibu.
“Nah, sini, kenalkan,
ini Nurul,” katanya,” tadi Ibu minta Nurul nemenin Ibu ke pasar,”
Aku menoleh pada wanita
berjilbab itu, lalu terkejut. Dia, gadis yang aku temui beberapa waktu lalu.
Aku segera mengontrol diri. Aku mengangguk ramah dan tersenyum.
“Alwi,”
“Nurul,”
Namanya Nurul. Jadi,
dia adalah Nurul yang akhir-akhir ini sering Ibu bicarakan.
“Kok pulang cepet? Ada apa?” tanya ibu memecah
ingatanku pada semua yang berkaitan dengan Nurul sebelumnya.
Aku menerangkan sebab
musabab kepulanganku yang cepat.
“Ya udah, dikerjain aja
urusanmu, ibu mau masak nih. Ayo, Nurul,”
Ibu berlalu ke dapur
diikuti Nurul, lalu yang kudengar kemudian adalah obrolan mereka lagi yang
begitu akrab didengar. Aku kembali ke kamar untuk meneruskan pekerjaanku.
Namun, pikiranku jadi terusik tentang Nurul.
Akhir-akhir ini, ibu
memang cukup sering menceritakan Nurul. Dari saat pertama kali bertemu ibu
ditolong di pasar, sampai soal masak-memasak di dapur dan jahit-menjahit. Di
samping itu, ibu juga bercerita tentang Afifah yang lebih sering main ke toko
atau mengantar buah-buahan ke rumah. Aku sendiri tak pernah di rumah saat
Afifah datang. Aku pasti sudah pergi ke kantor, bank tempatku bekerja.
Kebetulan, hari Minggu ini aku pulang cepat dan bertemu dengan Nurul di rumah,
yang kata ibu sering diajaknya main ke rumah untuk masak bersama, tapi belum sempat
juga. Hari ini, dia sempat dan aku pulang cepat. Kami pun bertemu untuk yang
pertama kali.
Pukul 12.30, aku merasa
sedikit bosan dan lelah. Ternyata, Nurul sudah pulang tanpa kusadari. Aku
keluar kamar untuk menemukan sesuatu yang aromanya menggoda seleraku sejak
tadi. Semangkuk besar balado terong, makanan kesukaanku, telah terhidang di
atas meja makan, menggugah selera.
“Buatan tangan Nurul,
lho, Ibu yang minta. Enak kan ?” kata ibu saat aku menyuap sepotong terong itu
ke mulut.
“Oh.. Iya, enak. Lebih enak dari bikinan Ibu
malah,” jawabku sambil meledek.
“Hemm,” gumam ibu sok
sewot, “Ya udah, abisin aja, nanti Nurul yang masakin lagi kalau kamu mau
nambah,” lanjutnya masih sok kesal. Aku tersenyum lebar, lalu ibu pun juga tersenyum.
Diam-diam, aku masih memikirkan
pertanyaan ibu. ‘Kapan kamu tentukan pilihanmu, Le?’ Aku tahu, ibu sudah ingin
melihatku berbahagia di pelaminan bersama seorang menantu idaman, apalagi di usiaku
ini, beberapa teman sudah menunggu kelahiran anak pertama mereka. Dari segi materi
pun insya Allah aku sudah mapan. Sejauh ini, aku telah berusaha memantapkan
hati, namun desir keraguan seringkali menyapaku dalam diam. Aku takut salah
melangkah, salah menentukan pilihan, salah mengambil keputusan. Doa permohonan
pada Yang Kuasa sudah kupanjatkan tiap malam, permintaan petunjuk tiap sholat,
bahkan mengemis ampunan tiap saat. Terasa masih kurang...
Sementara, pilihan itu
kian berkelebat mengganggu alam pikirku. Hendak diam, tak mungkin. Semua tak
akan selesai dengan cepat dan jelas jika aku hanya diam. Segera memilih dan
menentukan, itu harga mati. Walau aku yakin, apapun pilihanku itu berarti
takdir dari Allah untukku dan berarti pula sebagai sesuatu yang terbaik
untukku, tetap saja, aku masih bimbang untuk menentukan. Aku memikirkan segala
kemungkinan yang menjadi akibat dari pilihan yang akan kuambil.
Ya, pada akhirnya,
paman Afifah yang berumur tak jauh lebih tua dariku, datang ke rumah dan
menceritakan semuanya. Ternyata, memang akulah pria yang dinanti wanita itu,
Afifah. Di antara tak percaya, aku menerima berita itu, namun belum memberi
jawaban perihal aku benar-benar akan melamarnya atau tidak. Aku diberi waktu untuk
berpikir dan mereka mau menunggu.
Malam.....
“Nikahilah wanita karena
agamanya, hartanya, rupanya, atau keturunannya... Tapi, utamakan agama.” Ibu
membuka pembicaraan. Di ruang makan ini, hanya ada kami berdua. Alya dan Bilal
telah masuk ke kamar masing-masing. Mereka mengerti, ini pembicaraan antara aku
dan ibu saja. Aku diam, menyimak kalimat ibu sampai benar-benar selesai.
“Ibu sama sekali ndak
meragukan keimanan Afifah dan Nurul, Le. Apalagi, Afifah, ia memiliki semua
ciri yang disebutkan tadi. Lengkap. Kamu sendiri condong ke siapa, Le?”
Aku menghela napas.
“Ibu benar. Selain itu,
Afifah sudah jelas mengharapkan Alwi. Alwi sendiri sudah mulai menimbang dan
menentukan. Tapi, Alwi ingin dengar langsung pendapat Ibu tentang keduanya
untuk menguatkan pilihan Alwi atau untuk pertimbangan Alwi lagi.”
Ibu tak ingin berpanjang
cakap untuk masalah ini. Beliau tak ingin membiarkan Afifah dalam penantian
yang mungkin telah mengurangi keyakinannya. Umumnya, jika memang sama-sama
suka, pihak lelaki yang sudah diberi tahu tentu segera melamar si wanita.
Namun, entah mengapa, Afifah sendiri yang memintaku untuk mempertimbangkan
lagi. Mungkin ia tak yakin bahwa aku memiliki perasaan yang sama. Ya, dia tentu
tahu dari dulu aku memang menganggapnya sebagai teman. Namun, siapa yang tahu
jika kemudian benih-benih cinta tumbuh di hati???
“Afifah,” Ibu memulai,
“Dia gadis yang sempurna. Kamu, Ibu, bahkan semua orang pun tahu. Nurul, hanya
yatim piatu yang tinggal bersama Kakaknya. Pindahan dari Jawa. Nurul cuma guru
SMP. Tentu saja, tak sebanding dengan Afifah. Ibu ndak takut kalau kamu memilih
Afifah karena kedudukan dan harta. Ibu tahu, kamu bukan orang seperti itu. Ibu
juga tahu, Afifah akan bisa menurutimu sebagai imam walau derajatnya jelas
lebih tinggi. Afifah paham agama, berarti paham pula kedudukan dan kewajiban serta
hak suami istri. Dia sempurna, Le..”
Ibu berhenti sejenak,
melihat wajahku dan mencoba menemukan reaksi di sana. Aku masih menyimak dengan
tenang. Ibu meneruskan.
“Sejujurnya, hati ibu
lebih memilih Nurul, Le. Tapi, keputusan tetap di tanganmu, ibu akan tetap
merestui siapapun yang kamu pilih,” selesai. Ibu meminta reaksiku.
Aku terkesiap. Nurul??
Dahiku mengerut, memohon penjelasan Ibu.
“Kenapa Nurul, Bu?”
Ibu tersenyum, ”Karena
tangannya, Le..”
Aku masih belum paham.
“Tangan Nurul tak sehalus
tangan Afifah yang mulus terawat. Tangan Nurul, tangan yang banyak manyentuh
pahit getir hidup. Memang hal semacam itu tak pasti, tapi ibu telah
membuktikan. Ibu sudah tahu latar belakang keluarganya, sifatnya, dan Ibu bisa
melihat bagaimana irama tangan Nurul mengerjakan pekerjaan rumah layaknya istri
yang agung, yang menguasai setiap sudut rumahnya. Sebagai seorang wanita, Ibu
senang sekali melihat itu. Ibu yakin, Nurul bisa menjadi istri yang sempurna
buatmu, yang bisa selalu ada saat kamu di rumah, melayanimu dan berbakti padamu
sepenuhnya, insya Allah. Ibu pun bisa merasakan bahwa Nurul juga tertarik
padamu, hanya saja karena berita tentang Afifah itu, mungkin membuatnya memilih
untuk bungkam dalam kesadaran diri, Le.”
“Tapi, Alwi baru
beberapa kali bertemu Nurul, Bu. Itu pun di masjid. Soal Afifah, bagaimana
penilaian Ibu?” tanyaku meminta konfirmasi. Ibu tersenyum.
“Ibu melihat Afifah
juga. Dia beberapa kali main ke rumah, bawa ini itu, lalu membantu Ibu. Ibu
lihat dia berusaha, namun masih kaku. Bukan berarti Afifah tak bisa jadi istri
yang baik untukmu, Le. Tapi... Ibu telanjur jatuh hati pada Nurul. Ini ibu
jujur aja ya? Tapi, sekali lagi, Le. Siapapun pilihanmu, Ibu merestui. Insya
Allah, Afifah pun akan bisa menjadi istri yang sempurna di tengah kesibukannya,”
Aku tersenyum lagi. Aku
tangkap benar betapa ibu berusaha untuk menghargai apapun pilihanku.
“Sekarang, ibu mau
dengar darimu, Le,”
“Alwi senang Ibu
menghargai apapun pilihan Alwi. Ibu benar mengenai semuanya. Tapi, sebenarnya,
Alwi pun telah memilih, Bu,” Ibu semakin lekat menatapku, “Insya Allah, besok
juga Alwi akan melangkah lebih jauh, itu pun dengan restu Ibu. Iya, Afifah
sempurna, Bu. Besok, Alwi akan ke rumahnya, menemui walinya,” Ibu semakin
cermat memperhatikanku, “ dan dengan rendah hati, Alwi memohon maaf.” Ibu
tampak terkejut.
“Maksudmu, Le?”
“Iya. Dari awal. Alwi
menganggap Afifah sebagai teman saja, tak lebih, tak lain. Alwi mengagumi semua
yang ada pada diri Afifah, namun hati Alwi tertarik pada Nurul sejak pertama
kali bertemu. Ia tampak begitu dewasa, matang dan Alwi lihat Ibu lebih nyambung
dengannya daripada dengan Afifah.”
“Ibu pikir kamu...”
“Alwi sedang
mengkonfirmasi pilihan Alwi dengan Ibu, itu saja.”
Ibu tersenyum, “Semoga
keluarga Afifah mau berlapang dada, dan tidak berpikir bahwa kita
merendahkannya karena keputusanmu ini, ya?”
“Amin, insya Allah, Bu.”
“Lalu bagaiman dengan
Nurul?”
“Itu masih Alwi
pikirkan, Bu. Tak baik juga kalau Alwi langsung melamar Nurul setelah menolak
Afifah,”
Ibu terkejut, namun
senang.
“Wah, bahkan kamu sudah
mikirin mau ngelamar Nurul, Le???”
Ups... Aku tersipu...
Ibu tersenyum.
Ya, karena tangan.
Gemerlap citra Afifah ternyata kurang mampu meluruhkan hatiku. Mungkin baginya,
melihat Nurul adalah melihat dirinya sendiri di masa muda. Aku sendiri tak
tahu, mengapa aku langsung tertarik pada Nurul sejak pertama kali bertemu. Aku terbang
pada khayalan, ketika aku bisa menyentuh tangan Nurul yang meluluhkan. Semoga,
secepatnya...
Di Hadapan Ibu,
11 Juli 2013
22.54
Tidak ada komentar:
Posting Komentar