Malam yang tenang, saat aku
tiba-tiba mengingat semua itu...
Saat awan kelabu menggelayut di
langit mengirim pesan bahwa hujan akan segera datang. Aku masih berlari tak
tentu arah, mencari sesuatu yang pasti, namun tak pasti di mana dan bagaimana.
Aku bingung, gelisah, dan takut yang mendominasi. Langkah kaki kian memburu tak
tentu, sementara waktu tak ingin menunggu. Aku luar biasa gugup. Aku berhenti.
Sesuatu memaksaku berbalik, lari ke arah dari mana aku datang. Ya, rasanya
ingin terbang saja untuk segera sampai di tempat aku bermula. Aku berpacu
dengan detak jantung yang semakin berantakan dihajar ketakutan...
Kamu duduk dengan mata sendu.
Bibirmu terkatup. Matamu mulai basah. Tapi, aku tak mengenalmu. Sosok yang
paling aku kenal adalah seorang wanita tua di sebelahmu. Wanita itu terbaring,
diam, dan terpejam. Sementara gadis kecil yang memeluk tubuh bisu itu terisak
dalam bungkam. Aku terpaku. Melayang sudah napas dan detak jantungku! Perlahan
tak percaya, aku mendekat. Kamu menyingkir, seolah mempersilakan aku untuk
mendekati sosok diam itu.
“Mas... Ibu, Mas....” isak si gadis
kecil padaku.
Ya, gadis mungil itu adalah adik
perempuanku, dan wanita tua yang diam terpejam itu adalah ibuku. Ibu
meninggal..... Serta merta aku merengkuh tubuh ibu yang lemas tanpa nyawa,
mengguncangnya perlahan walau tahu itu hanya sia-sia. Ibu tetap diam, sementara
tangisku sebentar lagi pecah. Adikku sudah tersedu. Kamu, terdiam dalam pilu
dan titik air mata yang bisu...
Aku ingat benar, saat itu usiaku
masih delapan tahun, dan Ajeng, adikku, baru berusia tiga tahunan lebih. Kamu dua tahun lebih tua
dariku. Sejak hari itu, kamu menjadi kakak kami, yang selalu melindungi dan
menyayang kami. Tadinya, aku mengira kamu orang jahat yang ingin mencelakai ibu
dan adikku saat aku pergi mencari pertolongan kepada manusia-manusia lain yang
mungkin masih peduli. Ternyata, bentuan itu adalah kamu, yang datang entah dari
mana. Sayang, Allah memang ingin ibu kembali. Mungkin sudah terlalu lama ia
menderita, dan sudah saatnya ia beristirahat untuk selamanya.
“Tadi ibumu minta supaya aku
menjaga dia,” katamu di tengah hujan sambil menunjuk Ajeng.
Aku diam, masih belum percaya
sepenuhnya padamu. Ada rasa takut baru yang muncul, sementara Ajeng hanya
bungkam menerima apapun yang menimpanya saat itu, nanti, atau pun seterusnya.
Dia pasrah dan tahu apa-apa.
“Udah, kalian ikut aku aja, aku
punya rumah kecil, cukup buat bertiga sama kamu,”
Ternyata, nasib kita tak beda.
Ibumu pun pergi dengan cara yang sama, dan saat itu kamu tak bisa berbuat
apa-apa kecuali diam dalam isak pilu seperti yang tadi dilakukan Ajeng. Tiga
tahun yang lalu, kamu mengalaminya. Mungkin itulah mengapa kamu begitu ingin
menolong ibuku, karena kamu mengingat masa lalumu.
“Aku nggak punya siapa-siapa lagi. Kamu masih
mending, punya Ajeng... Kalau kamu mau, kamu sama Ajeng tinggal di sini aja ya?!”
Begitu katamu ketika membawa kami
ke bangunan mungil, dinding kayu lapuk serta beratap seng bekas. Sebut saja itu
rumah.
“Iya, Mbak...” jawabku singkat.
Dari postur tubuhmu, aku sudah tahu, kamu lebih tua dariku.
Sejak saat itu, tanpa peresmian
atau apapun sejenisnya, kamu menjadi kakak bagi kami. Kamu menjadi teladan dan
tumpuan kami. Tahun-tahun berlalu, dan engkau telah menjadi kakak terbaik bagi
kami, aku dan Ajeng. Kamu begitu mengayomi, melindungi, mendidik dan menyayangi
kami. Kita seperti saudara yang telah lama terpisah dimensi.
***
Malam begini, Ajeng sudah terlelap.
Pasti ia lelah setelah seharian sibuk di kampus. Aku juga lelah, namun belum
ingin terpejam.
Ya, tujuh belas tahun telah berlalu
dan semua terasa seperti mimpi. Kita memiliki rumah, kendaraan, perabotan yang
lengkap, dan lebih dari itu, juga sebuah rumah singgah bagi anak-anak jalanan
seperti kita dulu. Betapa besar karuniaNya....
Semua itu berawal dari hal yang tak
terduga...
“Bikin apa, Mbak?” tanyaku saat
itu.
“Iseng aja, Di... Ini ada kain
perca, mau Mbak bikin tas buat Ajeng sekolah. Kasian, tasnya udah butut kayak
gitu,”
Ajeng berkesempatan untuk mengenyam
pendidikan, sedangkan aku menolak. Alasannya jelas, aku ingin Ajeng yang
sekolah dan aku yang mencari biayanya! Biar Ajrng saja yang meneruskan
cita-citanya, karena cita-citaku hanya ingin membuatnya bahagia.
“Mbak,”
“Apa?”
“Diko diterima kerja jadi tukang
cuci piring di restoran padang lho,,,”
“Oh ya?? Wah, syukurlah kalo gitu!!
Kapan mulai kerja??”
“Udah, ini hari pertama!”
Kamu tertawa senang. Tawamu adalah bagian
terindah yang selalu ingin aku nikmati. Senyummu adalah mutiara yang menghiasi
emas senyum Ajeng. Bagiku, memiliki kalian berdua di tengah hidup yang keras
seperti saat itu adalah anugerah terindah yang pernah ada. Kalian adalah
permataku, berlian, mutiara atau apapun itu, tak akan terganti!
Dari sebuah tas mungil kain perca,
muncul tas-tas lain yang lebih lucu, buatanmu dan dibayar kontan para pemesan.
Perlahan, kebiasaanmu mencari sesuap nasi dengan berjualan asongan berhenti.
Kamu sibuk oleh berbagai pesanan dari jepit rambut hingga baju. Semua, buatan
tangan penuh kasihmu. Akupun benar-benar meniggalkan acara menyemir sepatu dan
mencoba konsisten mencuci piring di restoran padang itu yang mengajariku banyak
ilmu tentang manajemen restoran.
Sementara Ajeng, ia tak perlu lagi
mengamen. Dia mulai sibuk dengan prestasi dan organisasi, dan yang lebih
membanggakan, Ajeng selalu mendapat beasiswa untuk pendidikannya. Aku merasa
telah hidup begitu sempurna...
Kadang masih terlintas saat kita
dicaci maki, dicemooh atau diacuhkan sebagai anak jalanan yang tidak
berpendidikan. Semua berlalu dan terasa begitu perih, namun kini menenteramkan.
Seringkali kerinduan akan sosok bapak dan ibu membayang, namun hanya doa yang
bisa dipanjatkan dan sehelai kabar bahwa putra-putri mereka baik-baik saja. Apapun,
semua yang ada cukup untuk membuatku bahagia dan bersyukur.
Namun, bahagia itu sempat pergi
darimu ketika seorang pria benar-benar menyakiti hatimu, hingga terasa begitu
sulit bagimu untuk mencoba percaya dan menerima yang lain. Kamu menjadi sibuk
dengan hidupmu tanpa ingin diganggu kedatangan pria yang mencoba menggapaimu.
Kamu gelisah, namun selalu menikmati bagaimana irama kehidupan membelai hatimu.
Hingga tahun-tahun berlalu, entah berapa banyak pria yang terpaku
mengharapkanmu.
Dan saat makan malam tadi....
“Mbak nggak tahu dia itu sebenernya
kayak gimana, Di! Bisa aja di depan Mbak sok alim, baik, yang pinter, yang
kaya, yang perhatian... Ah, nggak tahu, rasanya nggak yakin aja... Mbak juga
nggak kenal watak mereka,”
“Makanya, Mbak jangan tutup hati
dong, coba dulu dekat dan kenali baik-baik, Mbak, jangan mikir negatif gitu,”
celetuk Ajeng.
“Nggak tahu, Jeng... Kayaknya masih
susah...”
‘’Mbak, Mbak sekarang udah 27
tahun, udah waktunya Mbak bahagia sama pasangan Mbak... Masak Mbak nggak pengin
nikah? Itu, Mas Arif yang dikenalin sama Pak Haji tempo hari, kelihatannya
cocok buat Mbak,” tambah Ajeng, aku masih diam.
“Hmm... Nggak tahu, Jeng. Nggak
sreg aja... Ajeng suka sama Mas Arif itu ?” ledekmu.
“Ih, Mbak nih! Ajeng aja belum
beres kuliah?!!” sangkal Ajeng.
“Hahaha, yaa,,, siapa tahu?!”
Entah dari mana dan kenapa, suatu
pertanyaan tiba-tiba muncul dalam benakku.
“Mbak, emang pria idaman Mbak itu
yang gimana sih? Dari dulu yang dateng kayaknya udah sip-sip, tapi tetep aja
nggak sreg?!” pertanyaan itu meluncur dari mulutku.
Kamu diam, agak terkejut dengan
pertanyaan itu. Sepersekian detik, aku merasa talah salah bertanya! Ajeng terkejut
juga, tapi menanti jawaban. Lalu, kamu tersenyum.
“Mungkin Mbak terkesan pilih-pilih
atau... Sok jual mahal lah, sok perfeksionis lah, atau apa. Tapi, ya, jujur
saja, semua pria itu pada dasarnya telah lebih dari cukup untuk Mbak, Di...
Tapi, Mbak sendiri nggak tahu kenapa, kayaknya nggak yakin aja. Mbak merasa sudah
nyaman begini, sama kamu, Ajeng, adik-adik persinggahan, ngurus usaha kita,
liat Ajeng berprestasi, dan liat Diko sukses berbisnis... Mbak merasa ini semua
udah cukup,” jawabmu dengan terus tersenyum manis.
Aku lihat mata Ajeng berkaca-kaca
menahan haru. Aku pun merasakan keharuan yang sama, namun ada sebuah kesedihan
yang menyelinap ke hati entah dari mana.
“Sekarang, giliran Mbak tanya.
Kalian sendiri juga udah kena virus cinta kan?!! Ayo, cerita!!! Oke, Ajeng
dulu!!!” ledekmu.
“Ah, Mbak, apaan si?!”
Aku menatap Ajeng serius, menunggu
pengakuan Ajeng dan agar aku tahu lelaki macam apa yang mencuri hati adik
tecintaku.
“Ayo, cerita!! Mas juga mau tahu!”
tantangku dengan mata meledek.
Ilham, pemuda remaja masjid yang
dekat denganku! Kamu juga mengenalnya. Dialah orang itu, yang berhasil meraih
hati Ajeng. Aku senang, karena Ilham memang salah satu kandidatku untuk Ajeng
kelak! Bagus lah!
Aku memang sempat memperhatikan
beberapa pemuda untuk Ajeng. Aku cukup khawatir juga kalau Ajeng dekat dengan
lelaki yang tidak aku kenal dengan baik. Dari sekian lelaki yang aku
perhatikan, aku bisa tahu mereka pantas atau tidak untuk Ajeng, sedangkan aku
selalu ragu dengan pria yang sepertinya cocok untukmu. Rasanya sulit untuk
menemukan pria yang benar-benar sesuai untukmu.
“Mas-mu malah melamun tuh, Jeng!!”
celetukmu membuyarkan jalan nalarku.
“Kamu sendiri, gimana, Di?” entah mengapa, aku
tiba-tiba merasa tersudut oleh pertanyanmu. Karena terus didesak oleh dua
makhluk manis seperti kalian, yaa, akhirnya aku mengalah untuk menjawab juga!
“Ada,”
“Wah, siapa?!”
“Siapa, Mas??! Mbak Nurul itu? Atau
Dinda temen Ajeng? Atau Mbak Mitha? Siapa, Mas?!” Ajeng mengejar jawaban
dariku.
“Hahaha,,, rahasia dong! Pokoknya,
ada deh!”
“Ih... Kasih tahu dong, Mbak berhak
tahu, lho Di!” paksamu sok ‘Kakak’, padahal penasaran ingin tahu cara meledek
yang baru dengan nama gadis itu! Aku tahu trikmu! Hahaha!
“Ada lah, Mbak, tapi...”
“Tapi??”
Rasa itu muncul lagi, menyeruak
dalam hati dan aku tak pernah bisa menemukan cara untuk mendefinisikannya,
apalagi mencegahnya. Semua terasa mengalir begitu saja.
“Tapi... Aku nggak berani bilang ke
dia, hehehe,” jawabku agak asal, namun memang begitulah sebenarnya.
“Aaaah, payah!!” serumu dan Ajeng
bersamaan mengejekku.
“Kalian nggak tahu sih, ini tuh
susah! Nggak segampang biasanya! Hmm... Sebenernya, aku sendiri nggak yakin
bakal diterima...”
“Mas, ungkapin aja, kalo Mas Diko
tulus, masalah diterima atau nggak, itu urusan belakang. Tergantung dianya dan
takdir juga, yang penting kan niat Mas baik. Masalah pendidikan yang bikin Mas
minder? ‘Kan Mas tahu, tanpa itu, banyak juga gadis yang mau sama Mas. Mas udah
mapan, soleh, dan nggak jelek-jelek amat kok, hehehe,” kata Ajeng panjang
lebar.
“Ajeng bener, Di. Emang siapa dia?
Anaknya tokoh masyarakat sini? Apa perlu Mbak bantu??” tanyamu.
Aku menghela napas, mencoba
menenangkan diri. Sepertinya, ini mulai serius karena aku sadar benar tentang
perasaan ini, perasaan yang selalu membuatku senang sekaligus sedih!
“Ng...Nggak tahu deh... Ntar kalo
aku udah siap, aku kasih tahu...”
“Eh, nggak bisa gitu, Mas!” protes
Ajeng.
“Udah, Jeng, jangan dipaksa, Mas-mu
kan emang gitu orangnya, suka mikir sendiri, tahu-tahu ntar dapet aja hasilnya!
Udah, ntar kita tagih aja kalo dia udah siap!” katamu, “Tapi janji ya, kasih tahu?!”
Aku tersenyum kecut, belum yakin akan mengiyakan permintaanmu, tapi tak akan
kuasa juga untuk menolaknya.
Kadang aku bertanya-tanya dalam
hati, apa aku pantas memiliki perasaan ini? Apa aku salah jika membiarkannya
tetap bersemi di hati setelah berkali-kali aku coba untuk membuangnya
jauh-jauh?
Malam terasa terlalu lambat
berlalu. Aku masih saja tak bisa terpejam sedetikpun! Aku diliputi kebimbangan
yang tak berujung pangkal. Antara sebuah kayakinan, namun dikepung seribu
keraguan. Aku pertimbangkan kembali, lagi, lagi, dan lagi berkali-kali. Akan
baikkah? Atau keburukan yang kemudian menjelma?
Hampir tiga jam aku
bergulang-guling tak jelas di tempat tidur. Seperti inikah orang yang jatuh
cinta berkali-kali dan selalu pada sosok gadis yang sama??? Badai galau melanda....
Pukul dua pagi....
Aku putuskan mengambil air wudlu untuk
melakukan sholat, memohon ampun dan petunjuk tentang apa yang harus aku
lakukan. Aku meminta padaNya agar diberi kekuatan untuk menjalani apapun yang
nanti akan terjadi. Berlembar-lembar al-Quran kubaca dan mencoba menajamkan
hafalan lagi. Selesai, hati yang tenang dan jiwa yang tenteram terasa begitu
lihai mengajakku merebahkan diri. Tak perlu ke atas kasur, karena aku akhirnya
terpejam di atas sajadah!
Kesadaran menyapaku sebelum bedug
subuh bergema. Aku terkejut dan mencoba mereka ulang mimpi yang baru saja aku
alami. Dalam mimpi yang terasa begitu singkat itu, aku melihat gadisku
tersenyum begitu manis. Ya, memang aku beberapa kali memimpikannya, tapi tidak
dengan gaun pengantin hijau seperti dalam mimpi tadi. Apakah harus aku katakan
saja kejujuran ini???
Adzan subuh mengalun jernih dari
menara masjid. Aku buru-buru bersiap. Begitu keluar dari kamar, Ajeng dan kamu
telah menanti di ruang tamu. Aku tersenyum.
“Kayaknya lagi seneng banget, Di?
Mimpi apa?” tanyamu heran dengan tatapan lurus mengarahku. Aku menoleh, menatap
balik padamu dengan senyum kemenangan.
“Coba tebak?!” aku menggoda, dan
lebih berani menatapmu dengan penuh percaya diri... Hehehe...
“Dasar! Udah ayo, ntar
ketinggalan,” katamu mengalihkan pembicaraan.
“Aku mau kasih tahu siapa dia, gadis
yang aku cintai selama ini, nggak ada yang lain, nggak pernah berganti,”
“Wah!!! Asyik!!!” seru Ajeng
girang, kamu diam dan aku tahu, kamu sedang menerka-nerka.
“Nanti, abis subuhan, ok?! Kalo
Mbak dan Ajeng setuju aku sama gadis itu, aku mau langsung lamar dia deh!”
“Wah, keren Mas!! Ok!! Sip! Sip!”
jawab Ajeng bersemangat dengan acungan dua jempolnya.
Aku tersenyum lebar dengan bangga.
Aku merasa lebih percaya diri. Lalu, aku meanatapmu dalam. Kamu masih diam.
Apakah kamu takut aku akan pergi bersama gadisku dan Ajeng bersama Ilham
sementara kamu masih sendiri? Itukah yang kamu risaukan? Atau kamu sedih karena
begitu mudah cinta menghampiri aku dan Ajeng, sementara ia belum menyentuhmu?
Tenang saja, aku tak akan
meninggalkanmu. Akan aku tegaskan bahwa pilihanmu untuk tetap bahagia bersamaku
dan Ajeng adalah benar. Akan aku katakan siapa dia, gadis pujaanku, yaitu kamu.
Dan akan aku tetapkan siapa dia, pria idamanmu, adalah aku. Aku akan buktikan
bahwa kamu memang tak akan pernah sreg dengan pria manapun, kecuali aku. Akulah
pria idaman yang tak kamu sadari telah, sedang dan akan selalu bersamamu.
Karena kamulah gadisku, Indy.....
Sudut kamar, 21 Mei 2013
03.43
Tidak ada komentar:
Posting Komentar