Selasa, 20 Oktober 2015

Akan Ku Katakan Siapa Dia



Malam yang tenang, saat aku tiba-tiba mengingat semua itu...
Saat awan kelabu menggelayut di langit mengirim pesan bahwa hujan akan segera datang. Aku masih berlari tak tentu arah, mencari sesuatu yang pasti, namun tak pasti di mana dan bagaimana. Aku bingung, gelisah, dan takut yang mendominasi. Langkah kaki kian memburu tak tentu, sementara waktu tak ingin menunggu. Aku luar biasa gugup. Aku berhenti. Sesuatu memaksaku berbalik, lari ke arah dari mana aku datang. Ya, rasanya ingin terbang saja untuk segera sampai di tempat aku bermula. Aku berpacu dengan detak jantung yang semakin berantakan dihajar ketakutan...
Kamu duduk dengan mata sendu. Bibirmu terkatup. Matamu mulai basah. Tapi, aku tak mengenalmu. Sosok yang paling aku kenal adalah seorang wanita tua di sebelahmu. Wanita itu terbaring, diam, dan terpejam. Sementara gadis kecil yang memeluk tubuh bisu itu terisak dalam bungkam. Aku terpaku. Melayang sudah napas dan detak jantungku! Perlahan tak percaya, aku mendekat. Kamu menyingkir, seolah mempersilakan aku untuk mendekati sosok diam itu.
“Mas... Ibu, Mas....” isak si gadis kecil padaku.
Ya, gadis mungil itu adalah adik perempuanku, dan wanita tua yang diam terpejam itu adalah ibuku. Ibu meninggal..... Serta merta aku merengkuh tubuh ibu yang lemas tanpa nyawa, mengguncangnya perlahan walau tahu itu hanya sia-sia. Ibu tetap diam, sementara tangisku sebentar lagi pecah. Adikku sudah tersedu. Kamu, terdiam dalam pilu dan titik air mata yang bisu...
Aku ingat benar, saat itu usiaku masih delapan tahun, dan Ajeng, adikku, baru berusia tiga  tahunan lebih. Kamu dua tahun lebih tua dariku. Sejak hari itu, kamu menjadi kakak kami, yang selalu melindungi dan menyayang kami. Tadinya, aku mengira kamu orang jahat yang ingin mencelakai ibu dan adikku saat aku pergi mencari pertolongan kepada manusia-manusia lain yang mungkin masih peduli. Ternyata, bentuan itu adalah kamu, yang datang entah dari mana. Sayang, Allah memang ingin ibu kembali. Mungkin sudah terlalu lama ia menderita, dan sudah saatnya ia beristirahat untuk selamanya.
“Tadi ibumu minta supaya aku menjaga dia,” katamu di tengah hujan sambil menunjuk Ajeng.
Aku diam, masih belum percaya sepenuhnya padamu. Ada rasa takut baru yang muncul, sementara Ajeng hanya bungkam menerima apapun yang menimpanya saat itu, nanti, atau pun seterusnya. Dia pasrah dan tahu apa-apa.
“Udah, kalian ikut aku aja, aku punya rumah kecil, cukup buat bertiga sama kamu,”
Ternyata, nasib kita tak beda. Ibumu pun pergi dengan cara yang sama, dan saat itu kamu tak bisa berbuat apa-apa kecuali diam dalam isak pilu seperti yang tadi dilakukan Ajeng. Tiga tahun yang lalu, kamu mengalaminya. Mungkin itulah mengapa kamu begitu ingin menolong ibuku, karena kamu mengingat masa lalumu.
 “Aku nggak punya siapa-siapa lagi. Kamu masih mending, punya Ajeng... Kalau kamu mau, kamu sama Ajeng tinggal di sini aja ya?!”
Begitu katamu ketika membawa kami ke bangunan mungil, dinding kayu lapuk serta beratap seng bekas. Sebut saja itu rumah.
“Iya, Mbak...” jawabku singkat. Dari postur tubuhmu, aku sudah tahu, kamu lebih tua dariku.
Sejak saat itu, tanpa peresmian atau apapun sejenisnya, kamu menjadi kakak bagi kami. Kamu menjadi teladan dan tumpuan kami. Tahun-tahun berlalu, dan engkau telah menjadi kakak terbaik bagi kami, aku dan Ajeng. Kamu begitu mengayomi, melindungi, mendidik dan menyayangi kami. Kita seperti saudara yang telah lama terpisah dimensi.
***
Malam begini, Ajeng sudah terlelap. Pasti ia lelah setelah seharian sibuk di kampus. Aku juga lelah, namun belum ingin terpejam.
Ya, tujuh belas tahun telah berlalu dan semua terasa seperti mimpi. Kita memiliki rumah, kendaraan, perabotan yang lengkap, dan lebih dari itu, juga sebuah rumah singgah bagi anak-anak jalanan seperti kita dulu. Betapa besar karuniaNya....
Semua itu berawal dari hal yang tak terduga...
“Bikin apa, Mbak?” tanyaku saat itu.
“Iseng aja, Di... Ini ada kain perca, mau Mbak bikin tas buat Ajeng sekolah. Kasian, tasnya udah butut kayak gitu,”
Ajeng berkesempatan untuk mengenyam pendidikan, sedangkan aku menolak. Alasannya jelas, aku ingin Ajeng yang sekolah dan aku yang mencari biayanya! Biar Ajrng saja yang meneruskan cita-citanya, karena cita-citaku hanya ingin membuatnya bahagia.
“Mbak,”
“Apa?”
“Diko diterima kerja jadi tukang cuci piring di restoran padang lho,,,”
“Oh ya?? Wah, syukurlah kalo gitu!! Kapan mulai kerja??”
“Udah, ini hari pertama!”
Kamu tertawa senang. Tawamu adalah bagian terindah yang selalu ingin aku nikmati. Senyummu adalah mutiara yang menghiasi emas senyum Ajeng. Bagiku, memiliki kalian berdua di tengah hidup yang keras seperti saat itu adalah anugerah terindah yang pernah ada. Kalian adalah permataku, berlian, mutiara atau apapun itu, tak akan terganti!
Dari sebuah tas mungil kain perca, muncul tas-tas lain yang lebih lucu, buatanmu dan dibayar kontan para pemesan. Perlahan, kebiasaanmu mencari sesuap nasi dengan berjualan asongan berhenti. Kamu sibuk oleh berbagai pesanan dari jepit rambut hingga baju. Semua, buatan tangan penuh kasihmu. Akupun benar-benar meniggalkan acara menyemir sepatu dan mencoba konsisten mencuci piring di restoran padang itu yang mengajariku banyak ilmu tentang manajemen restoran.
Sementara Ajeng, ia tak perlu lagi mengamen. Dia mulai sibuk dengan prestasi dan organisasi, dan yang lebih membanggakan, Ajeng selalu mendapat beasiswa untuk pendidikannya. Aku merasa telah hidup begitu sempurna...
Kadang masih terlintas saat kita dicaci maki, dicemooh atau diacuhkan sebagai anak jalanan yang tidak berpendidikan. Semua berlalu dan terasa begitu perih, namun kini menenteramkan. Seringkali kerinduan akan sosok bapak dan ibu membayang, namun hanya doa yang bisa dipanjatkan dan sehelai kabar bahwa putra-putri mereka baik-baik saja. Apapun, semua yang ada cukup untuk membuatku bahagia dan bersyukur.
Namun, bahagia itu sempat pergi darimu ketika seorang pria benar-benar menyakiti hatimu, hingga terasa begitu sulit bagimu untuk mencoba percaya dan menerima yang lain. Kamu menjadi sibuk dengan hidupmu tanpa ingin diganggu kedatangan pria yang mencoba menggapaimu. Kamu gelisah, namun selalu menikmati bagaimana irama kehidupan membelai hatimu. Hingga tahun-tahun berlalu, entah berapa banyak pria yang terpaku mengharapkanmu.
Dan saat makan malam tadi....
“Mbak nggak tahu dia itu sebenernya kayak gimana, Di! Bisa aja di depan Mbak sok alim, baik, yang pinter, yang kaya, yang perhatian... Ah, nggak tahu, rasanya nggak yakin aja... Mbak juga nggak kenal watak mereka,”
“Makanya, Mbak jangan tutup hati dong, coba dulu dekat dan kenali baik-baik, Mbak, jangan mikir negatif gitu,” celetuk Ajeng.
“Nggak tahu, Jeng... Kayaknya masih susah...”
‘’Mbak, Mbak sekarang udah 27 tahun, udah waktunya Mbak bahagia sama pasangan Mbak... Masak Mbak nggak pengin nikah? Itu, Mas Arif yang dikenalin sama Pak Haji tempo hari, kelihatannya cocok buat Mbak,” tambah Ajeng, aku masih diam.
“Hmm... Nggak tahu, Jeng. Nggak sreg aja... Ajeng suka sama Mas Arif itu ?” ledekmu.
“Ih, Mbak nih! Ajeng aja belum beres kuliah?!!” sangkal Ajeng.
“Hahaha, yaa,,, siapa tahu?!”
Entah dari mana dan kenapa, suatu pertanyaan tiba-tiba muncul dalam benakku.
“Mbak, emang pria idaman Mbak itu yang gimana sih? Dari dulu yang dateng kayaknya udah sip-sip, tapi tetep aja nggak sreg?!” pertanyaan itu meluncur dari mulutku.
Kamu diam, agak terkejut dengan pertanyaan itu. Sepersekian detik, aku merasa talah salah bertanya! Ajeng terkejut juga, tapi menanti jawaban. Lalu, kamu tersenyum.
“Mungkin Mbak terkesan pilih-pilih atau... Sok jual mahal lah, sok perfeksionis lah, atau apa. Tapi, ya, jujur saja, semua pria itu pada dasarnya telah lebih dari cukup untuk Mbak, Di... Tapi, Mbak sendiri nggak tahu kenapa, kayaknya nggak yakin aja. Mbak merasa sudah nyaman begini, sama kamu, Ajeng, adik-adik persinggahan, ngurus usaha kita, liat Ajeng berprestasi, dan liat Diko sukses berbisnis... Mbak merasa ini semua udah cukup,” jawabmu dengan terus tersenyum manis.
Aku lihat mata Ajeng berkaca-kaca menahan haru. Aku pun merasakan keharuan yang sama, namun ada sebuah kesedihan yang menyelinap ke hati entah dari mana.
“Sekarang, giliran Mbak tanya. Kalian sendiri juga udah kena virus cinta kan?!! Ayo, cerita!!! Oke, Ajeng dulu!!!” ledekmu.
“Ah, Mbak, apaan si?!”
Aku menatap Ajeng serius, menunggu pengakuan Ajeng dan agar aku tahu lelaki macam apa yang mencuri hati adik tecintaku.
“Ayo, cerita!! Mas juga mau tahu!” tantangku dengan mata meledek.
Ilham, pemuda remaja masjid yang dekat denganku! Kamu juga mengenalnya. Dialah orang itu, yang berhasil meraih hati Ajeng. Aku senang, karena Ilham memang salah satu kandidatku untuk Ajeng kelak! Bagus lah!
Aku memang sempat memperhatikan beberapa pemuda untuk Ajeng. Aku cukup khawatir juga kalau Ajeng dekat dengan lelaki yang tidak aku kenal dengan baik. Dari sekian lelaki yang aku perhatikan, aku bisa tahu mereka pantas atau tidak untuk Ajeng, sedangkan aku selalu ragu dengan pria yang sepertinya cocok untukmu. Rasanya sulit untuk menemukan pria yang benar-benar sesuai untukmu.
“Mas-mu malah melamun tuh, Jeng!!” celetukmu membuyarkan jalan nalarku.
 “Kamu sendiri, gimana, Di?” entah mengapa, aku tiba-tiba merasa tersudut oleh pertanyanmu. Karena terus didesak oleh dua makhluk manis seperti kalian, yaa, akhirnya aku mengalah untuk menjawab juga!
“Ada,”
“Wah, siapa?!”
“Siapa, Mas??! Mbak Nurul itu? Atau Dinda temen Ajeng? Atau Mbak Mitha? Siapa, Mas?!” Ajeng mengejar jawaban dariku.
“Hahaha,,, rahasia dong! Pokoknya, ada deh!”
“Ih... Kasih tahu dong, Mbak berhak tahu, lho Di!” paksamu sok ‘Kakak’, padahal penasaran ingin tahu cara meledek yang baru dengan nama gadis itu! Aku tahu trikmu! Hahaha!
“Ada lah, Mbak, tapi...”
“Tapi??”
Rasa itu muncul lagi, menyeruak dalam hati dan aku tak pernah bisa menemukan cara untuk mendefinisikannya, apalagi mencegahnya. Semua terasa mengalir begitu saja.
“Tapi... Aku nggak berani bilang ke dia, hehehe,” jawabku agak asal, namun memang begitulah sebenarnya.
“Aaaah, payah!!” serumu dan Ajeng bersamaan mengejekku.
“Kalian nggak tahu sih, ini tuh susah! Nggak segampang biasanya! Hmm... Sebenernya, aku sendiri nggak yakin bakal diterima...”
“Mas, ungkapin aja, kalo Mas Diko tulus, masalah diterima atau nggak, itu urusan belakang. Tergantung dianya dan takdir juga, yang penting kan niat Mas baik. Masalah pendidikan yang bikin Mas minder? ‘Kan Mas tahu, tanpa itu, banyak juga gadis yang mau sama Mas. Mas udah mapan, soleh, dan nggak jelek-jelek amat kok, hehehe,” kata Ajeng panjang lebar.
“Ajeng bener, Di. Emang siapa dia? Anaknya tokoh masyarakat sini? Apa perlu Mbak bantu??” tanyamu.
Aku menghela napas, mencoba menenangkan diri. Sepertinya, ini mulai serius karena aku sadar benar tentang perasaan ini, perasaan yang selalu membuatku senang sekaligus sedih!
“Ng...Nggak tahu deh... Ntar kalo aku udah siap, aku kasih tahu...”
“Eh, nggak bisa gitu, Mas!” protes Ajeng.
“Udah, Jeng, jangan dipaksa, Mas-mu kan emang gitu orangnya, suka mikir sendiri, tahu-tahu ntar dapet aja hasilnya! Udah, ntar kita tagih aja kalo dia udah siap!” katamu, “Tapi janji ya, kasih tahu?!” Aku tersenyum kecut, belum yakin akan mengiyakan permintaanmu, tapi tak akan kuasa juga untuk menolaknya.
Kadang aku bertanya-tanya dalam hati, apa aku pantas memiliki perasaan ini? Apa aku salah jika membiarkannya tetap bersemi di hati setelah berkali-kali aku coba untuk membuangnya jauh-jauh?
Malam terasa terlalu lambat berlalu. Aku masih saja tak bisa terpejam sedetikpun! Aku diliputi kebimbangan yang tak berujung pangkal. Antara sebuah kayakinan, namun dikepung seribu keraguan. Aku pertimbangkan kembali, lagi, lagi, dan lagi berkali-kali. Akan baikkah? Atau keburukan yang kemudian menjelma?
Hampir tiga jam aku bergulang-guling tak jelas di tempat tidur. Seperti inikah orang yang jatuh cinta berkali-kali dan selalu pada sosok gadis yang sama??? Badai galau melanda....
Pukul dua pagi....
Aku putuskan mengambil air wudlu untuk melakukan sholat, memohon ampun dan petunjuk tentang apa yang harus aku lakukan. Aku meminta padaNya agar diberi kekuatan untuk menjalani apapun yang nanti akan terjadi. Berlembar-lembar al-Quran kubaca dan mencoba menajamkan hafalan lagi. Selesai, hati yang tenang dan jiwa yang tenteram terasa begitu lihai mengajakku merebahkan diri. Tak perlu ke atas kasur, karena aku akhirnya terpejam di atas sajadah!
Kesadaran menyapaku sebelum bedug subuh bergema. Aku terkejut dan mencoba mereka ulang mimpi yang baru saja aku alami. Dalam mimpi yang terasa begitu singkat itu, aku melihat gadisku tersenyum begitu manis. Ya, memang aku beberapa kali memimpikannya, tapi tidak dengan gaun pengantin hijau seperti dalam mimpi tadi. Apakah harus aku katakan saja kejujuran ini???
Adzan subuh mengalun jernih dari menara masjid. Aku buru-buru bersiap. Begitu keluar dari kamar, Ajeng dan kamu telah menanti di ruang tamu. Aku tersenyum.
“Kayaknya lagi seneng banget, Di? Mimpi apa?” tanyamu heran dengan tatapan lurus mengarahku. Aku menoleh, menatap balik padamu dengan senyum kemenangan.
“Coba tebak?!” aku menggoda, dan lebih berani menatapmu dengan penuh percaya diri... Hehehe...
“Dasar! Udah ayo, ntar ketinggalan,” katamu mengalihkan pembicaraan.
“Aku mau kasih tahu siapa dia, gadis yang aku cintai selama ini, nggak ada yang lain, nggak pernah berganti,”
“Wah!!! Asyik!!!” seru Ajeng girang, kamu diam dan aku tahu, kamu sedang menerka-nerka.
“Nanti, abis subuhan, ok?! Kalo Mbak dan Ajeng setuju aku sama gadis itu, aku mau langsung lamar dia deh!”
“Wah, keren Mas!! Ok!! Sip! Sip!” jawab Ajeng bersemangat dengan acungan dua jempolnya.
Aku tersenyum lebar dengan bangga. Aku merasa lebih percaya diri. Lalu, aku meanatapmu dalam. Kamu masih diam. Apakah kamu takut aku akan pergi bersama gadisku dan Ajeng bersama Ilham sementara kamu masih sendiri? Itukah yang kamu risaukan? Atau kamu sedih karena begitu mudah cinta menghampiri aku dan Ajeng, sementara ia belum menyentuhmu?
Tenang saja, aku tak akan meninggalkanmu. Akan aku tegaskan bahwa pilihanmu untuk tetap bahagia bersamaku dan Ajeng adalah benar. Akan aku katakan siapa dia, gadis pujaanku, yaitu kamu. Dan akan aku tetapkan siapa dia, pria idamanmu, adalah aku. Aku akan buktikan bahwa kamu memang tak akan pernah sreg dengan pria manapun, kecuali aku. Akulah pria idaman yang tak kamu sadari telah, sedang dan akan selalu bersamamu. Karena kamulah gadisku, Indy.....


Sudut kamar, 21 Mei 2013
03.43

Tidak ada komentar:

Posting Komentar