Selasa, 20 Oktober 2015

Portal



Ciiiiiiiiiiiiit!!!!
Praaaakkk!!!
Bruuuuuggg!!!!!

Entah dari mana, suara decit rem truk dan dentuman motor yang melayang jatuh bersama si pengendara berkelebat di depan matanya tanpa sempat ia menghindar. Motor dan si pengendara terlempar keras, bahkan berada beberapa meter di hadapannya. Dara merasa seluruh sendi di tubuhnya lolos, hingga ia hanya terpaku dalam napas yang serasa hilang. Dara tidak sadar apapun, matanya hanya tertuju pada si pengendara yang terbaring. Tangannya berusaha meraih pegangan pada motornya yang sudah roboh, rusak. Lalu kepalanya yang tak lagi berhelm itu berusaha mendongak, menampakkan wajahnya yang penuh darah. Dara melihat mata sayu itu, yang lalu terpejam bersama tubuh si pengendara yang kembali lunglai di atas aspal. Dara baru menyadari apa yang terjadi, setelah orang-orang berlarian menggapai si pengendara, beberapa ribut memanggil ambulance. Dua orang polisi lalu lintas segera datang, dan seorang wanita separuh baya tiba-tiba sudah menggenggam lengan kanannya.
“Mbak? Nggak papa?”
Dara menoleh bingung.
Wanita itu menuntun Dara untuk berdiri, dan menariknya agak menjauh dari keramaian. Wnita itu mengajak Dara duduk menepi di trotoar, lalu menawarinya sebotol air mineral. Dara masih gemetar saat mendekatkan ujung sedotan ke bibirnya. Orang-orang masih ribut, hingga si pengendara yang entah masih hidup atau tidak itu diangkat dan dibawa pergi ambulance.
***

Di sebuah ruang ICU rumah sakit, si pengendara tergolek dengan alat-alat medis yang membantunya bertahan hidup. Tampak kedua orang tuanya di tepi ranjang. Tatapan mereka penuh dengan kesedihan, rindu, kebingungan, dan yang mengambil porsi terbesar adalah ketakutan.
***

Sore hari yang lain setelah kejadian kecelakaan itu...
Dara termenung di tepi danau yang terletak di kampusnya. Peristiwa kecelakaan kemarin sore entah mengapa sangat mengganggu pikiran dan hati, hingga tak tahan untuk ia tulis pada buku hariannya. Bayangan tentang tatapan si pengendara itu masih lekat dalam ingatannya. Apa yang ada di dalam benak si pengendara? Mengapa dia menatap langsung lurus padanya? Apakah dia meminta tolong pada Dara --yang sangat disesali Dara bahwa Dara haya terpaku dalam kekagetan tanpa berbuat apa-apa-- ? Jika iya, si pengendara bisa langsung mengarahkan tangan dan tatapannya pada kerumunan orang di halte. Posisi ia terjatuh miring sangat tepat menghadap halte, tetapi mengapa sia justru berusaha memutar badan agar menatap ke arah Dara? Apa yang diinginkan si pengendara? Dara bahkan bertanya-tanya apakah dia masih hidup? Iya, tentu saja Dara berharap si pengendara tetap hidup!
Lagipula, sepele sekali! Apa yang dia inginkan sehingga harus menyeberang dan memotong jalan seenaknya, sementara lalu lintas sedang tidak terlalu ramai, sehingga banyak kendaraan melaju kencang? Apa dia tidak sempat melihat truk Fuso yang melaju tanpa ragu? Apa dia juga tidak mengikatkan tali helm-nya dengan baik dan benar??
“Dhuarrr!!!”
Suara itu mengagetkan Dara. Hingga kagetnya, Dara yang sedang duduk terdorong ke depan. Dalam gerak lambat, Dara seperti melayang, sementara tanpa ia sadari buku hariannya terbang...
Dara terjatuh ke atas tanah beruput itu. Ia kesal. Marah. Dara menengok pada sumber suara dengan sengit. Lalu bangkit dengan dendam dan mata menyala-nyala...
Fian sepertinya segera tahu bahwa candaannya tidak tepat waktu. Melihat Dara yang berapi-api berjalan ke arahnya, memnuat Fian semakin ciut dalam takut. Tetapi kakinya tidak bergerak untuk lari. Dia terus menatap Dara yang kian mendekat, sementara tangannya sendiri mulai gemetar. Dan tiba-tiba, wajah Dara yang merah membara sudah ada di depan matanya. Mata Dara yang penuh amarah itu menatap langsung ke dalam mata Fian yang sipit dan berkaca-kaca karena takut.
“Hahahahahhaha!!!”
Gelak tawa keduanya meledak.
“Coba tadi gue shoot ekspresi serem lu, Ra! Pantes lu jadi bintang film horor, jadi hantunya yang baru bangkit dari kubur karena dendam!!”
“Lu juga tuh, mirip banget Bang Bokir liat Suzanna, Hahahaha” Dara menimpali.
“Eh tapi lu berani lepas baju nggak buat jadi artis horor? Kalo nggak, susah terkenalnya,” ucap Fian ngaco.
“Idih, emang gue kurang serem apa??!”
“Nggak sih, tapi syarat hantu jaman sekarang nggak cuma serem, tapi juga seksi. Biar judul filmnya menjual gituuu,”
Dara terkekeh saja, lalu katanya, “Lama banget lu ditungguin...”
“Sore, kuliah minor gue kalo hari Selasa emang sampe sore gini... Oh iya, Ra, gue ada kabar kurang baik,”
“Apa?” Dara menatap serius.
“Hana, dia nggak masuk hari ini karena sodara sepupunya kecelakaan. Dia baru kasih kabar karena nggak sempet pegang HP dari kemaren. Lu tau kan? Yang kecelakaan di deket mall Indah kemaren sore, itu ternyata kakak sepupunya Hana!!”
“Apa?!” Dara ternganga tidak percaya. Dia tiba-tiba merasa agak pusing.
“Lu nggak papa, Ra?”
“Nggak, nggak papa, Fi...”
“Yaudah, kita nemuin Hana di rumah sakit aja, dia dari kemaren di sana nemenin kakak sepupunya,”
Dara mengangguk, lalu segera mengikuti langkah Fian yang berjalan cepat di depannya, meninggalkan tepi danau...
Meninggalkan buku diary-nya yang masih tergeletak di atas rumput....
***

Seseorang mengambil buku harian Dara saat kondisi kampus telah pergi. Dia tidak sengaja melihat buku itu ketika berjalan santai melewati jalan setapak di tepi danau kampus ini. Awalnya dia tidak ingin peduli, paling nanti malam atau besok si pemilik akan mengambilnya lagi kalau memang penting. Tetapi, petang itu langit tampak mendung. Hujan siap datang. Kasihan sekali kalau buku itu basah kehujanan...
***

Benar saja, malam itu hujan turun dengan deras. Dara berlari dari gerbang kosannya setelah keluar dari taksi yang ia naiki bersama Fian sepulang dari rumah sakit. Sesampainya di depan pintu kamar, segera ia keluarkan kunci dan membuka pintu kamarnya.
***

Bagas masuk ke kamar Iaz saat Iaz sedang asyik online di laptopnya. Bagas buru-buru masuk, lalu melepas jaket jins-nya yang basah di beberapa bagian.
“Lu, masuk aja bikin kaget gue!” Ucap Iaz kaget.
“Lu, pintu rusak, udah dikunci masih aja bisa dibuka,” jawab Bagas dengan santai.
“Dari mana lu?” tanya Iaz, mengalihkan perhatiannya dari layar laptop ke Bagas yang sedang mengibas-kibaskan jaket. Bagas belum sempat menjawab, Iaz sudah menimpali.
“Abis jalan ya sama Gitaaa?” Iaz menggoda.
“Tau dari mana lu?”
“Ah, lu gimana sih jadi cowoknya Gita kok kayak nggak tau aja. Dari balik kuliah aja dia udah rempong banget update status mau jalan sama ayang,”
Bagas tersenyum, lalu katanya, “terus sekarang statusnya apa?”
Iaz terdiam ragu.
“Status terkahirnya Gita,” Iaz menoleh lagi ke layar laptop, lalu membaca yang menjadi pusat perhatiannya: “Gita Boekan Goetawa: Kamu emang nggak peka L
Iaz menoleh lagi pada Bagas.
“Lu berantem sama Gita?”
Bagas berhenti mengibaskan jaketnya, menatap Iaz heran.
“Nggak, tadi kita dinner, terus pas balik ujan gitu, tapi biasa aja, tetep balik kok,”
“Maksud lu, uajn-ujan gitu lu tetep balik?”
“iya,”
“Nggak nunggu redaan?!”
“lah kan gue ada janji mau ngerjain tugas sama lu,”
“Ujan-ujan gitu, si Gita pake jaket nggak?”
“nggak,”
“Terus lu nggak tawarin dia pake jaket lu??!!”
“Gue tawarin, kok Iaz,”
Bagas teringat lagi saat-saat di lobby rumah makan ayam bakar yang paling terkenal di kawasan itu, saat hujan mulai turun dan ia menawari Gita untuk memakai jaketnya.
“Yang, ini paket jaket aku, dingin loh ujan-ujan gini, kita kan mau motoran,”
“Nggak usah, Yang, nggak papa,”

Iaz penasaran, “terus lu jawab apa Gita bilang gitu??”
“Yaudah,”
“-yaudah- yaudah gimana maksud lu Gas??”
“Ya... yaudah, dia nggak mau make, yaudah, gue yang pake,”
“Nggak lu pakein langsung aja ke Gita gitu? Ke bahunya???”
“Nggak, ntar gue dibilang cowok yang memaksakan kehendak... Gue salah Iaz begitu??” Bagas mulai khawatir dengan tindakannya tadi...
Iaz terdiam, berpikir, lalu menghela napas dan mengelus dada...
“Apa Iaz? Gue salah yah??!!” Bagas makin ketakutan.
“Nggak,”
“Terus kenapa lu ngelus dada gitu??”
“Gue lega aja, berarti status Gita bukan buat lu, Broh,” Iaz tersenyum lebar, Bagas pun demikian.
“Gue mah udah tau kalo Gita pasti seneng abis jalan sama gue,” ucap Bagas bangga sambil menggantungkan jaketnya dengan sebuah hanger ke paku di belakang pintu kamar Iaz.

“Eh, Iaz, lu lagi onlen?”
“Iya, kenapa?”
Bagas berjalan menuju tasnya yang di letakkan di lantai dekat tempat tidur Iaz, lalu membukanya untuk mengambil sesuatu.
“Cariin ini dong?”
***

Dara masih kelabakan mencari buku diary-nya. Dia membuka semua laci lemari, menurunkan semua barang-barang di mejanya, bahkan mengangkat kasurnya untuk mencari buku pink itu. Tidak ada. Dara mulai panik. Di mana buku diary-nya?? Dara berdiri di tengah kondisi kamarnya yang sudah seperti kapal pecah dan menoleh ke sana-sini... Tidak ada...
Lalu tiba-tiba ingatan itu muncul.
Saat Fian mengagetkannya di tepi danau tadi sore. Saat entah kapan, buku diary itu lepas dari tangannya. Yang ia ingat saat itu adalah langsung berlatih acting menjadi bintang film. Ya Tuhan, obsesi itu sekarang berdampak makin serius: membuat buku diary-nya hilang!!
Pintu kamar Dara terbuka dengan cepat, lalu Dara keluar dari kamarnya dengan setengah berlari. Buru-buru ia mengunci pintu dan menembus hujan yang masih mengguyur malam itu.
“Ke mana, Ra?” tanya seorang teman kosnya yang sedang bersantai di depan TV.
“Ke kampus, Lan,”
Dara terpaksa berhenti sejenak untuk menanggapi Wulan.
“Ngapain? Mau ditemenin?”
Dara berpikir sejenak. Dia takut kalau kelakuannya malam-malam begini ke kampus demi mencari buku diary yang hilang karena obsesi bintang film-nya itu akan membuat Wulan terpingkal-pingkal, maka dia putuskan untuk pergi sendiri saja.
“Ng.. Nggak usah, Lan. Gue buru-buru,” Dara segera berlari ke arah gerbang, lalu keluar.
“Ra??! Lu nggak bawa payung, Ra?!! Ra??!!” Wulan berusaha memanggil Dara yang sudah tidak terlihat...

*bersambung

Karena Tangan



Afifah, putri salah satu orang terpandang di wilayah ini. Hmm, terlalu sempit jika hanya mencakup wilayah ini. Ayahnya adalah pensiunan jenderal,  pasti beliau juga terpandang di wilayah lain. Kecantikan dan keanggunan Afifah tak ada yang meragukannya. Cerdas, berprestasi, dan disegani. Kedermawanannya pun tak dipungkiri. Ia sering bolak-balik ke luar negeri sebagai utusan universitasnya dalam berbagai urusan, ataupun karena kepentingan lainnya. Sekarang, di tengah kuliah S2 yang ia jalani, Afifah sibuk dengan pekerjaanya sebagai seorang dosen muda. Selain itu, usaha konveksinya telah menyerap banyak tenaga kerja.
Berita yang beredar, kudengar Afifah telah terang-terangan menolak beberapa pria pilihan yang dicalonkan ayahandanya sebagai pendamping hidup. Alasannya tak berubah. Dia mendamba seorang pria yang telah lama ia kagumi untuk datang ke rumah dan meminangnya sebagai istri. Sayang, pria itu tak kunjung datang dan masih menjadi misteri. Siapa gerangan ?
Desas-desus yang menyebar, pria itu adalah putra pertama seorang janda beranak tiga. Janda itu pun bukan pensiunan pegawai negeri, keturunan priyayi, ataupun bersuami haji. Biasa saja. Putra pertamanya, pria idaman Afifah itu , adalah seorang pegawai bank di salah satu bank ternama. Tak terlalu kaya, namun penghasilannya mencukupi kebutuhan keluarga. Lebih dari itu, satu hal yang menarik dari pribadinya adalah bagaimana keteguhannya memegang agama. Jika bicara soal rupa, mereka berkata bahwa pria itu memang lumayan rupawan. Walau tak terlalu tampan, namun pribadinya begitu menawan.
Aku diam, tak mengerti dan terkejut ketika semua yang dibicarakan orang itu ternyata mengarah kepadaku! Aku! Akulah pria itu! Aku sendiri tak sepenuhnya yakin. Mungkin saja karena aku anak seorang janda, dan aku bekerja di bank juga, lantas mereka menunjukku sebagai pria itu. Mereka pasti hanya menerka dan mengada-ada. Mana mungkin gadis semulia Afifah memimpikanku dalam tidurnya, sementara aku membayangkan diriku sendiri menjadi pendampingnya pun terasa tak pantas! Gadis seperti Afifah, hanya pantas bersama pria yang bukan sembarangan.
Aku sendiri tak pernah nyata-nyata mencari tahu atau mengkonfirmasi tentang kebenaran cerita itu. Aku menjalani hidupku seperti biasa, walau sejujurnya akupun bertanya-tanya dalam hati ‘benarkah begitu? Jika iya, bagaimana mungkin?’. Sementara itu, beberapa teman dan kerabat telah mendorongku untuk segera saja melamar Afifah. Jika benar, maka jawabannya jelas bahwa aku diterima. Jika bukan aku, tak ada salahnya mencoba dulu. Toh tak ada beban jika memang ditolak, sudah sepantasnya begitu. Dengan semua dorongan itu, aku hanya bisa diam. Masih tak mengerti.
Selama ini, aku hanya berinteraksi dengan Afifah di kegiatan masjid. Tentu saja, karena lahan urusanku dengannya jauh berbeda. Kecuali, kegiatan kerohanian di Masjid yang memang menjadi urusan kami bersama beberapa muda-mudi lainnya. Aku sendiri mengenalnya beberapa tahun yang lalu, ketika ia pindah ke sini. Saat itu aku kelas 3 SMA, sibuk dengan persiapan ujian, sedangkan dia satu tahun di bawahku. Semua biasa saja, layaknya teman sampai sekarang. Paling tidak, kalau Afifah memerlukan bantuanku dalam belajar, aku bersedia membantu semampuku. Selebihnya, tak ada yang istimewa...
Desas-desus memanas. Tempo hari, seorang ABRI dari luar kota itu tak pernah lagi datang menemui Afifah. Berita bahwa ‘teman dekat’ Afifah itu ditolaknya, mewabah ke setiap sudut desa. Beberapa orang tak percaya dan ada juga menampiknya, sebagian lagi menanggapinya dengan bahagia, selebihnya, bagian yang terbanyak, masih bertanya-tanya ‘benarkah?’. Dan ternyata, aku masuk dalam golongan yang ketiga itu! Namun, aku tak seperti mereka yang lantas sibuk mencari tahu kebenarannya.
Lepas dari desas-desus tentang Afifah, aku tetap berkonsenterasi pada pekerjaanku dan usaha kain batik yang sekarang dikelola oleh Bilal, adik laki-lakiku. Dia kini sedang menempuh semester terakhir kuliahnya. Sementara itu, Alya, adik terakhirku masih berkecimpung di tahun kedua masa abu-abu putihnya. Ibu pun masih bertahan pada pekerjaanya sebagai penjahit. Baginya, menjahit bukan sekadar pekerjaan, melainkan hobi yang telah ia tekuni sejak remaja dahulu. Bedanya, sekarang ibu menjalani urusan jahit-menjahit tanpa harus mengejar target penghasilan, karena selalu aku katakan, aku bisa mengatasinya.
Bilal mengambil jurusan bisnis di salah satu universitas bergengsi di Jakarta. Bukan untuk cari nama, sejak awal memang di sanalah ia menggantungkan cita-citanya dan aku tahu, ia pun berusaha mati-matian. Tak heran, prestasi akademiknya pun cukup memuaskan, bahkan ia sering sibuk dengan berbagai organisasi. Namun, akhir-akhir ini, kulihat ada kesibukan lain dalam keseharian Bilal. Wanita. Ya, seorang gadis asal Aceh telah menjadi tempat bagi Bilal untuk menggantungkan cita-citanya yang lebih jauh. Sementara itu, Alya tetap memberi seluruh perhatiannya pada sekolah. Aku memang benar-benar memperhatikan Alya. Terang saja, sejak kepergian Bapak, akulah walinya.
Bicara soal wanita, baiklah. Ada seorang teman kerja yang memang telah menyatakan ketertarikannya padaku. Namun, aku tegaskan dengan baik-baik bahwa sebaiknya ia jangan mengharapkanku. Bukan apa-apa, sejujurnya selama ini aku tak menyimpan perasaan yang lebih dari sebagai teman dan rekan kerja padanya. Sebenarnya, ada satu gadis yang pernah mengusik hatiku. Namanya Fitri, temanku saat kuliah dulu. Sekarang ia telah berumah tangga dengan pria yang sejak dulu dicintainya, bahkan mereka sedang menantikan kelahiran putra pertama mereka. Aku pun telah merelakan Fitri dan tak pernah mengingat lagi perasaan itu. Dia sudah bahagia, dan aku tidak menderita. Kami masih berteman seperti dulu. Selebihnya, ibu yang sibuk menceritakan perihal si A, si B, si C, sampai Afifah padaku, dan satu nama lagi yang terdengar sesering nama Afifah disebut. Lagi-lagi, aku hanya tersenyum dalam diam.
“Assalamu’alaikum,“ Sapa seseorang dari luar.
“Wa’alaikumsalam,” Ibu menjawabnya dengan lantang, lalu berjalan ke arah pintu depan.
“Eh, Nak Nurul. Mari, masuk,”
Aku tidak mendengar dengan jelas siapa yang datang. Mungkin salah satu pelanggan ibu yang hendak mengambil titipan jahitnya. Tak lama kemudian, kudengar mereka banyak mengobrol dengan akrab.
“Mas,”
Tiba-tiba perhatianku tersita oleh suara Bilal yang membuka pintu kamarku.
“Ya. Apa?”
“Aku ada ketemu dosen pembimbing, mungkin sampai sore. Kalau Mas ada waktu, mampirlah ke toko. Nanti aku nyusul lepas maghrib, insya Allah. Bisa?” Beberapa waktu terakhir, logat bicara Bilal agak ke-Aceh-Acehan. Aku selelu geli dibuatnya.
Aku menghela napas. Aku harus menemui atasanku sore ini.
“Ngga bisa janji, Lal... Mas mungkin pulang sore juga, malah mungkin malem. Ntar Mas usahain. Emang kenapa?”
“Nggak apa, cuma Ibu mau ke sana, jadi aku berangkat sama ibu, terus ibu pulangnya sama Mas. Gitu. Lagian Mas udah agak lama kan nggak ke toko, mainlah,”
“Oke, insya Allah,ya ! Tapi, di toko ada orang kan? Jadi kalau Mas nggak bisa, seenggaknya ada yang antar ibu pulang,”
“Ada, Burhan sama Milun. Koco nggak jaga, katanya istrinya demam,”
Benar juga soal aku jarang mampir ke toko. Akhir-akhir ini aku terlalu sibuk. Aku mengiyakan permintaan Bilal, kemudian ia menghilang ke luar. Di sisi lain, ruang tamu sudah sepi. Pelanggan ibu sudah pergi.
Tak kusangka, urusan dengan atasan kali ini cepat selesai. Selepas asar, aku sudah meluncur ke toko dengan motorku. Tiba di toko, aku sangat terkejut. Afifah, gadis itu ada di sana! Ia sedang berbincang dengan ibu begitu akrab, senyum mereka terurai dengan indah. Sekitar sedetik kemudian, Afifah terkejut saat mengetahui kedatanganku. Ia tersenyum.
“Eh, Mas Alwi,”
Aku memberi salam dan menyalami tangan  ibu, lalu melihat ke arah Afifah.
“Sudah pulang, Mas Alwi? Biasanya sampe lebih sore?” katanya membuka obrolan.
“Iya, alhamdulillah, urusannya cepet beres tadi. Udah lama di sini?”
“Ngga, baru aja kok,” jawabnya dengan senyum. Cantik.
Selama di toko, kulihat Afifah cukup akrab dengan ibu. Ia banyak bercerita, dan ibu dengan senang mendengarkan sambil sesekali bertanya dan menanggapi. Sementara itu, aku sibuk menekuni laporan keuangan toko yang ditulis Burhan hari ini. Diam-diam, tak kupungkiri kecantikan Afifah. Tiap gerakannya begitu terpelajar, layak sebagai seorang yang berpendidikan tinggi dan cerdas. Lebih dari itu, sejak awal mengenalnya, ia telah istiqomah dalam menutup aurat.
Hari Minggu...
Aku sudah berangkat ke kantor tadi pagi, namun ternyata acara meeting ditunda sampai besok. Ini kesempatan mempersiapkan diri untuk presentasi. Oleh karena itu, Pak Bambang, atasanku, mengizinkan aku pulang lebih awal. Rumah lengang ketika aku sampai. Ibu tak ada, Alya dan Bilal juga. Alya sudah jelas sedang ada malam pelantikan di sekolahnya, sehingga ia memang menginap di sekolah sejak kemarin. Bilal ada urusan dengan dosennya. Lalu, ke mana ibu? Aku coba hubungi ponselnya, ternyata deringnya terdengar dari buffet ruang tengah. ibu tak membawa ponselnya. Setelah coba mengingat, semalam ibu berkata bahwa keperluan dapur mulai habis. Jadi, kupikir beliau sedang ke pasar.
Setelah menunaikan sholat dhuha, aku kembali menekuni bahan presentasi di laptopku. Karena terlalu asyik, tiba-tiba sudah kudengar suara ibu di rumah. Aku terkesiap. Baru saja aku hendak memanggil, ada suara lain yang menimpali suara ibu. Mereka masih berbicara ke sana-sini, dari soal harga di pasar, sampai belanjaan ibu yang tertinggal. Lalu mereka tertawa dengan renyah.
“Alwi?? Kamu di rumah, Le??” Ibu memanggilku. Tentu saja ia tahu, motorku ada di teras.
“Injih, Bu,” Aku keluar kamar, menemui ibu.
“Nah, sini, kenalkan, ini Nurul,” katanya,” tadi Ibu minta Nurul nemenin Ibu ke pasar,”
Aku menoleh pada wanita berjilbab itu, lalu terkejut. Dia, gadis yang aku temui beberapa waktu lalu. Aku segera mengontrol diri. Aku mengangguk ramah dan tersenyum.
“Alwi,”
“Nurul,”
Namanya Nurul. Jadi, dia adalah Nurul yang akhir-akhir ini sering Ibu bicarakan.
 “Kok pulang cepet? Ada apa?” tanya ibu memecah ingatanku pada semua yang berkaitan dengan Nurul sebelumnya.
Aku menerangkan sebab musabab kepulanganku yang cepat.
“Ya udah, dikerjain aja urusanmu, ibu mau masak nih. Ayo, Nurul,”
Ibu berlalu ke dapur diikuti Nurul, lalu yang kudengar kemudian adalah obrolan mereka lagi yang begitu akrab didengar. Aku kembali ke kamar untuk meneruskan pekerjaanku. Namun, pikiranku jadi terusik tentang Nurul.
Akhir-akhir ini, ibu memang cukup sering menceritakan Nurul. Dari saat pertama kali bertemu ibu ditolong di pasar, sampai soal masak-memasak di dapur dan jahit-menjahit. Di samping itu, ibu juga bercerita tentang Afifah yang lebih sering main ke toko atau mengantar buah-buahan ke rumah. Aku sendiri tak pernah di rumah saat Afifah datang. Aku pasti sudah pergi ke kantor, bank tempatku bekerja. Kebetulan, hari Minggu ini aku pulang cepat dan bertemu dengan Nurul di rumah, yang kata ibu sering diajaknya main ke rumah untuk masak bersama, tapi belum sempat juga. Hari ini, dia sempat dan aku pulang cepat. Kami pun bertemu untuk yang pertama kali.
Pukul 12.30, aku merasa sedikit bosan dan lelah. Ternyata, Nurul sudah pulang tanpa kusadari. Aku keluar kamar untuk menemukan sesuatu yang aromanya menggoda seleraku sejak tadi. Semangkuk besar balado terong, makanan kesukaanku, telah terhidang di atas meja makan, menggugah selera.
“Buatan tangan Nurul, lho, Ibu yang minta. Enak kan ?” kata ibu saat aku menyuap sepotong terong itu ke mulut.
 “Oh.. Iya, enak. Lebih enak dari bikinan Ibu malah,” jawabku sambil meledek.
“Hemm,” gumam ibu sok sewot, “Ya udah, abisin aja, nanti Nurul yang masakin lagi kalau kamu mau nambah,” lanjutnya masih sok kesal. Aku tersenyum  lebar, lalu ibu pun juga tersenyum.
Diam-diam, aku masih memikirkan pertanyaan ibu. ‘Kapan kamu tentukan pilihanmu, Le?’ Aku tahu, ibu sudah ingin melihatku berbahagia di pelaminan bersama seorang menantu idaman, apalagi di usiaku ini, beberapa teman sudah menunggu kelahiran anak pertama mereka. Dari segi materi pun insya Allah aku sudah mapan. Sejauh ini, aku telah berusaha memantapkan hati, namun desir keraguan seringkali menyapaku dalam diam. Aku takut salah melangkah, salah menentukan pilihan, salah mengambil keputusan. Doa permohonan pada Yang Kuasa sudah kupanjatkan tiap malam, permintaan petunjuk tiap sholat, bahkan mengemis ampunan tiap saat. Terasa masih kurang...
Sementara, pilihan itu kian berkelebat mengganggu alam pikirku. Hendak diam, tak mungkin. Semua tak akan selesai dengan cepat dan jelas jika aku hanya diam. Segera memilih dan menentukan, itu harga mati. Walau aku yakin, apapun pilihanku itu berarti takdir dari Allah untukku dan berarti pula sebagai sesuatu yang terbaik untukku, tetap saja, aku masih bimbang untuk menentukan. Aku memikirkan segala kemungkinan yang menjadi akibat dari pilihan yang akan kuambil.
Ya, pada akhirnya, paman Afifah yang berumur tak jauh lebih tua dariku, datang ke rumah dan menceritakan semuanya. Ternyata, memang akulah pria yang dinanti wanita itu, Afifah. Di antara tak percaya, aku menerima berita itu, namun belum memberi jawaban perihal aku benar-benar akan melamarnya atau tidak. Aku diberi waktu untuk berpikir dan mereka mau menunggu.
Malam.....
“Nikahilah wanita karena agamanya, hartanya, rupanya, atau keturunannya... Tapi, utamakan agama.” Ibu membuka pembicaraan. Di ruang makan ini, hanya ada kami berdua. Alya dan Bilal telah masuk ke kamar masing-masing. Mereka mengerti, ini pembicaraan antara aku dan ibu saja. Aku diam, menyimak kalimat ibu sampai benar-benar selesai.
“Ibu sama sekali ndak meragukan keimanan Afifah dan Nurul, Le. Apalagi, Afifah, ia memiliki semua ciri yang disebutkan tadi. Lengkap. Kamu sendiri condong ke siapa, Le?”
Aku menghela napas.
“Ibu benar. Selain itu, Afifah sudah jelas mengharapkan Alwi. Alwi sendiri sudah mulai menimbang dan menentukan. Tapi, Alwi ingin dengar langsung pendapat Ibu tentang keduanya untuk menguatkan pilihan Alwi atau untuk pertimbangan Alwi lagi.”
Ibu tak ingin berpanjang cakap untuk masalah ini. Beliau tak ingin membiarkan Afifah dalam penantian yang mungkin telah mengurangi keyakinannya. Umumnya, jika memang sama-sama suka, pihak lelaki yang sudah diberi tahu tentu segera melamar si wanita. Namun, entah mengapa, Afifah sendiri yang memintaku untuk mempertimbangkan lagi. Mungkin ia tak yakin bahwa aku memiliki perasaan yang sama. Ya, dia tentu tahu dari dulu aku memang menganggapnya sebagai teman. Namun, siapa yang tahu jika kemudian benih-benih cinta tumbuh di hati???
“Afifah,” Ibu memulai, “Dia gadis yang sempurna. Kamu, Ibu, bahkan semua orang pun tahu. Nurul, hanya yatim piatu yang tinggal bersama Kakaknya. Pindahan dari Jawa. Nurul cuma guru SMP. Tentu saja, tak sebanding dengan Afifah. Ibu ndak takut kalau kamu memilih Afifah karena kedudukan dan harta. Ibu tahu, kamu bukan orang seperti itu. Ibu juga tahu, Afifah akan bisa menurutimu sebagai imam walau derajatnya jelas lebih tinggi. Afifah paham agama, berarti paham pula kedudukan dan kewajiban serta hak suami istri. Dia sempurna, Le..”
Ibu berhenti sejenak, melihat wajahku dan mencoba menemukan reaksi di sana. Aku masih menyimak dengan tenang. Ibu meneruskan.
“Sejujurnya, hati ibu lebih memilih Nurul, Le. Tapi, keputusan tetap di tanganmu, ibu akan tetap merestui siapapun yang kamu pilih,” selesai. Ibu meminta reaksiku.
Aku terkesiap. Nurul?? Dahiku mengerut, memohon penjelasan Ibu.
“Kenapa Nurul, Bu?”
Ibu tersenyum, ”Karena tangannya, Le..”
Aku masih belum paham.
“Tangan Nurul tak sehalus tangan Afifah yang mulus terawat. Tangan Nurul, tangan yang banyak manyentuh pahit getir hidup. Memang hal semacam itu tak pasti, tapi ibu telah membuktikan. Ibu sudah tahu latar belakang keluarganya, sifatnya, dan Ibu bisa melihat bagaimana irama tangan Nurul mengerjakan pekerjaan rumah layaknya istri yang agung, yang menguasai setiap sudut rumahnya. Sebagai seorang wanita, Ibu senang sekali melihat itu. Ibu yakin, Nurul bisa menjadi istri yang sempurna buatmu, yang bisa selalu ada saat kamu di rumah, melayanimu dan berbakti padamu sepenuhnya, insya Allah. Ibu pun bisa merasakan bahwa Nurul juga tertarik padamu, hanya saja karena berita tentang Afifah itu, mungkin membuatnya memilih untuk bungkam dalam kesadaran diri, Le.”
“Tapi, Alwi baru beberapa kali bertemu Nurul, Bu. Itu pun di masjid. Soal Afifah, bagaimana penilaian Ibu?” tanyaku meminta konfirmasi. Ibu tersenyum.
“Ibu melihat Afifah juga. Dia beberapa kali main ke rumah, bawa ini itu, lalu membantu Ibu. Ibu lihat dia berusaha, namun masih kaku. Bukan berarti Afifah tak bisa jadi istri yang baik untukmu, Le. Tapi... Ibu telanjur jatuh hati pada Nurul. Ini ibu jujur aja ya? Tapi, sekali lagi, Le. Siapapun pilihanmu, Ibu merestui. Insya Allah, Afifah pun akan bisa menjadi istri yang sempurna di tengah kesibukannya,”
Aku tersenyum lagi. Aku tangkap benar betapa ibu berusaha untuk menghargai apapun pilihanku.
“Sekarang, ibu mau dengar darimu, Le,”
“Alwi senang Ibu menghargai apapun pilihan Alwi. Ibu benar mengenai semuanya. Tapi, sebenarnya, Alwi pun telah memilih, Bu,” Ibu semakin lekat menatapku, “Insya Allah, besok juga Alwi akan melangkah lebih jauh, itu pun dengan restu Ibu. Iya, Afifah sempurna, Bu. Besok, Alwi akan ke rumahnya, menemui walinya,” Ibu semakin cermat memperhatikanku, “ dan dengan rendah hati, Alwi memohon maaf.” Ibu tampak terkejut.
“Maksudmu, Le?”
“Iya. Dari awal. Alwi menganggap Afifah sebagai teman saja, tak lebih, tak lain. Alwi mengagumi semua yang ada pada diri Afifah, namun hati Alwi tertarik pada Nurul sejak pertama kali bertemu. Ia tampak begitu dewasa, matang dan Alwi lihat Ibu lebih nyambung dengannya daripada dengan Afifah.”
“Ibu pikir kamu...”
“Alwi sedang mengkonfirmasi pilihan Alwi dengan Ibu, itu saja.”
Ibu tersenyum, “Semoga keluarga Afifah mau berlapang dada, dan tidak berpikir bahwa kita merendahkannya karena keputusanmu ini, ya?”
“Amin, insya Allah, Bu.”
“Lalu bagaiman dengan Nurul?”
“Itu masih Alwi pikirkan, Bu. Tak baik juga kalau Alwi langsung melamar Nurul setelah menolak Afifah,”
Ibu terkejut, namun senang.
“Wah, bahkan kamu sudah mikirin mau ngelamar Nurul, Le???”
Ups... Aku tersipu... Ibu tersenyum.
Ya, karena tangan. Gemerlap citra Afifah ternyata kurang mampu meluruhkan hatiku. Mungkin baginya, melihat Nurul adalah melihat dirinya sendiri di masa muda. Aku sendiri tak tahu, mengapa aku langsung tertarik pada Nurul sejak pertama kali bertemu. Aku terbang pada khayalan, ketika aku bisa menyentuh tangan Nurul yang meluluhkan. Semoga, secepatnya...

Di Hadapan Ibu,
11 Juli 2013
22.54