Minggu, 19 April 2015

Sang Angin: Terasa dari Balik Dinding

Sore itu....

Seperti biasa, hari Rabu adalah saatnya pasukan drum band kami melakukan latihan mingguan. Kami berlatih di lapangan dalam sekolah, di mana dari lapangan ini kami bisa melihat langit biru dan jajaran pegunungan desa di sebelah utara, berlanjut ke arah timur, dengan indahnya. Sementara itu, sepanjang kaki gunung tampak rumah-rumah penduduk yang berkumpul di suatu perkampungan, lalu berlanjut dengan hamparan sawah dan ladang sampai bibir tembok keliling sekolah ini. Memang sekolah mewah yang kami cintai: MEpet saWAH.

Nah, kebetulan aku ikut dalam drum band ini, namun tidak memegang peran sebagai penabuh alat apapun. Aku ditunjuk menjadi kapten mengibar bendera. Maksudku... ketua tim pembawa bendera yang bertugas memainkan dan mengibarkan bendera selama instrumen ditabuh. Padahal aku ingin memegang alat tertentu: pianika, belira, atau pun senar drum.

Selama latihan, berbagai formasi display dilakukan dan beberapa lagu dimainkan. Suara instrumen kami membahana seolah keluar dari persembunyiannya di dalam ruang-ruang udara instrumen, lalu dengan wibawa, nadanya diterbangkan angin sore yang berhembus semilir dari pegunungan di utara sana. Berderam dan berdentum dengan gagah ke seluruh udara di sekitar kami, menambah semangat para penabuh untuk memainkan instrumen. Aku pun membawa benderaku bergerak, memutari penabuh, berlari, berjalan di tempat, melompat dan mengangkat tangan tinggi-tinggi agar bendera warna-warni kami semakin hingar-bingar berkibar dirayu sang angin.

Setelah habis lagu dimainkan, pelatih memberi kami waktu istirahat. Para pemain drum band meletakkan istrumen dengan hati-hati. Beberapa dari kami membentuk kelompok sesama penabuh, saling bertanya dan belajar cara penabuh atau menghapal beberapa not lagu yang sering mereka lupakan saat bermain. Beberapa yang lain sekedar berkumpul biasa, membicarakan hal-hal yang menurut mereka mungkin penting untuk dirundingkan sebelum sore ini berakhir. Beberapa yang paling banyak jumlahnya, berjalan keluar lapangan untuk membeli es campur atau jajanan lainnya dijual oleh kedai kecil di seberang jalan depan sekolah.

Aku dan tim bendera pun melakukan hal yang sama: ada yang duduk merumpi dan pergi. Aku masih memegang tongkat bendera dan memainkannya, saat kudengar bahana suara yang lain mengalun dibawa angin. Suara yang berderap penuh semangat dengan hitungan mantap. Aku penasaran, karena suara itu tersengar berasal dari lapangan depan sekolah, atau teras sekolah. Aku tidak tahu, aku harus ke sana untuk membuktikannya sendiri.

Maka, aku letakkan benderaku, lalu berpamitan pada beberapa teman yang duduk bahwa aku akan keluar. Mereka mengiyakan.

Aku berjalan bersama beberapa anak yang masih menuju kedai, hingga tiba di dinding perbatasan antara parkiran sekolah dengan lapangan luar, aku menghentikan langkah. Ternyata, banyak pemain drum band yang juga berdiri melihat apa yang ada di teras paving depan sekolah. Bahkan ada yang sambil menikmati es campur mereka.

Di sana, ada sepuluh anak dengan formasi yang rapi sedang menggerakkan badan mereka dengan tegap dan mantap mengikuti derap dan hitungan musik dari tape recorder. Di sana juga ada Bu Tuti, guru olah raga kami. Ya, mereka adalah tim senam yang akan diberangkatkan untuk mewakili sekolah ini dalam lomba senam tingkat kecamatan. Di sana ada Santi teman sekelasku, sedangkan sisanya adalah kakak kelas 2. Ada Mba Vira si ketua OSIS yang cantik itu, ada Mas Wanto, Mas Didi, dan... ah, dia yang langsung menyita perhatianku dari seluruh manusia yang tumpah ruah di tempat ini, setelah sekali aku melihatnya. Sudah, aku tidak melihat yang lain lagi. Iya, ada Mas Bimo di sana!

Ya Tuhan....
Kenapa bukan aku saja yang dipilih ikut tim senam?
Kenapa yang ada di sana adalah Santi, bukan aku?
Kenapa Bu Tuti tidak memilih aku?
Aku juga bisa melakukan gerakan senam dengan baik dan mantap begitu.
Aku pernah mendapat nilai tertinggi gerakan senam saat lomba murid teladan kelas 5 SD !
Aku bisa menghapal banyak gerakan senam dan menyesuaikan dengan musiknya!
Kenapa Tuhan?? Kenapaaaaa??!!!

Aku menatap Mas Bimo lekat, kagum akan gerakannya, kelincahannya, dan ... senyumnya yang memang harus selalu terkembang selama senam. Aku mundur, lalu menyembunyikan diri di balik dinding parkiran, sementara kepalaku menyembul dan mataku tak lepas dari sosoknya. Aku masih merutuki Tuhan dengan pertanyaan "kenapa" sambil menatap Mas Bimo, saat tiba-tiba sebuah gerakan harus membuat kepala Mas Bimo menoleh ke kiri, pandangannya pun harus ke kiri: ke arah dinding parkiran tempat aku bersembunyi.

DEG!!

Ke mana jantungku, Tuhan?!
Ke mana napasku??
Ke mana???

Saat mata tajam Mas Bimo menemukanku di balik dinding, aku bahkan belum sempat bersembunyi dan menghidari sinar matanya, seketika seperti ada yang lenyap dari dadaku. Mungkin jantungku, mungkin napasku. Entahlah...

Tapi Mas Bimo segera harus menarik wajahnya untuk menoleh ke arah berlawanan, sehingga aku segera menarik juga seluruh diriku (maksudku kepala dan mataku juga) untuk bersembunyi ke balik dinding. Aku menghela napas, lalu menata kembali debar di dadaku dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa agar beberapa teman tidak curiga dengan kelakuanku ini. Aku berpura-pura menengok jam tangan, lalu secara biasa-biasa saja aku kembali memunculkan diri dan melihat aksi para pesenam itu.

Ada bahana lain di sini.
Ada semilir angin dari pegunungan utara, menembus sumsum hatiku, berputar di sana bersama dentuman jantung dan nada musik senam yang berwibawa.
Sementara pesona Mas Bimo semakin berkibar di mataku bagai bendera drum band yang dibawa berlari mengitari penabuh instrumen... Dia tampan, pintar, dan keren dengan gerakan senamnya...

Tuhan, kenapa??
Kenapa bukan aku saja yang di sana??
Aku terdiam dan terus memandang dengan hati menuntut jawaban Tuhan...



Jumat, 17 April 2015

Sang Angin: Kibarkan Merah Putih

Aku selalu terpana melihat gerakan para pengibar bendera baik di televisi pada upacara pengibaran bendera hari kemerdekaan maupun pada setiap upacara bendera hari Senin. Lihat saja betapa sigap, tangkas, dan tertata gerakannya, melambangkan bukan hanya kebanggaan, kedisiplinan, rasa hormat dan menghargai Sang Merah Putih. Lebih dari itu, aku bisa merasakan ada cinta di sana, di tatapan mata mereka untuk memastikan lipatan dan kibaran sang merah putih, di genggaman dan sentuhan tangan mereka untuk menjaga kesucian dan kebersihannya, dan dari senyum manis yang mengiringi langkah tegap mengantar sang merah putih berkibar di puncak tertinggi tiang yang kokoh.

Pengibar bendera di SMP-ku waktu itu adalah trio yang terdiri kakak-kakak cantik dan tampan. Ada Mas Adin, Mbak Ayu, dan Mas Irfan. Setiap kali upacara bendera pada hari besar nasional, tim petugas upacara inti yang bertugas, maka mataku tak lepas dari setiap gerakan Mbak Ayu yang cantik itu. Jika pada upacara bendera hari Senin biasa, aku melihat pengibar bendera dari setiap kelas sesuai jadwal piket, dan –dengan sok tau- aku bisa mengetahui kesalahan-kesalahan gerak yang dilakukan baik oleh pembawa bendera maupun dua orang penariknya.

Sekali waktu, bendera terpelintir saat dikibarkan, beberapa kali dia terbalik menjadi bendera kebangsaan negera lain, atau entah karena sedang sedih, bendera berkibar setengah tiang sedangkan lagu Indonesia Raya sudah tamat dinyanyikan. Atau sebaliknya. Atau mungkin sikap badan yang kurang tegap, dan gerak kaki tangan yang tidak seimbang. hmmm...

Mbak Ayu sudah naik ke kelas tiga, sementara pembawa bendera cadangan di tim inti adalah Mbak Tyas, yang juga tidak kalah terkenal karena hitam manis dan lincah ceria. Aku sempat termenung dalam hati, jika syarat menjadi pembawa bendera adalah paras yang menarik, maka jelas temanku yang paling manis bernama Sinta itu menjadi kandidat. Dia memenuhi semua kriteria menjadi seorang pengibar bendera. Dia tinggi, badannya langsing, dan sesuai namanya, dia memiliki paras manis yang terkenal juga di seantero sekolah. Tidak heran jika dia pun menjabat sebagai mayoret untuk grup drum band sekolah kami.

Jadi begitulah, aku yang sangat menginginkan menjadi pembawa bendera merah putih di setiap upacara. Hingga suatu hari, kelasku yang mendapat piket menjadi petugas upacara untuk hari Senin yang akan datang. Maka kami pun meminta tolong tim inti untuk melatih kami di sore hari setelah jam sekolah usai. Sebagai pengibar senior, Mbak Ayu menyeleksi beberapa anak di kelas kami, termasuk aku yang langsung mepet ke dirinya, padahal Mbak Ayu jelas melirik Sinta atau beberapa anak yang lebih tinggi dariku.

Namun, karena Shinta adalah mayoret, kakak kelas dari tim inti yang menjadi dirigen senior segera 'mengontrak' Sinta untuk menjadi dirigen, sedangkan untuk penarik suara, tidak lain dan tidak bukan adalah Winda, si pemilik suara emas tiada tanding di kelas kami. Maka Mbak Ayu melakukan seleksi tanpa si Manis Sinta. Dan mungkin sudah kehendak Tuhan, setelah beberapa kali mencoba gerakan membawa dan mengibarkan bendera, Mbak Ayu memilih aku! iya, aku! si kurus nan kecil yang hitam ini!! Aku senang bukan main! Dunia terasa lebih indah dari sekedar melihat Mas Bimo melintas di depan mata!

Setelah latihan hingga hari-H, semuanya berjalan baik dan lancar. Dan, namaku mulai terangkat menjadi pembawa bendera yang cukup menjanjikan.

Pada latihan Pramuka di suatu sore, Kak Prapto bermaksud membentuk tim inti baru sebagai pengganti tim inti senior yang sebentar lagi melepaskan jabatan mereka. Kami membahas susunan organisasi, susunan petugas upacara inti, hingga susunan pelatihan yang mungkin akan dibutuhkan pada setiap sore bagi adik-adik kelas.

Dan ternyata, dalam susunan petugas bendera inti sekolah, aku terpilih sebagai pengibar bendera!! Sinta menjadi dirigen, Winda menjadi penarik suara, Wulan yang juga teman sekelasku menjadi pembaca teks pembukaan UUD '45, dan beberapa anak lainnya berasal dari kelas lain. Dan tahukah kalian, Kawan, siapakah 'pendamping'ku sebagai pengibar bendera di sisi kanan dan kiri???

Mas Bimo dan Mas Bangun!

Ya Tuhaaaan.....

*Kebetulan dua orang teman sekelasku yang menjadi pendamping saat upacara kemarin tidak termasuk pengurus inti Pramuka sekolah kami...

Maka setelah itu kami terkenal sebagai Triple B. Bimo, Bintang, Bangun. Aku sungguh tidak menyangka tentang ini semua. Yang mengherankan, tidak semua dari kami memiliki tinggi seperti Mbak Ayu, Mas Adin, maupun Mas Irfan. Ya, baik aku, Mas Bimo, dan Mas Bangun memiliki tinggi yang rata-rata!! Heheheh...

Maka selanjutnya, entah bagaimana bisa, kami bertiga menjadi trio yang paling sering mendapat 'job', baik pada upacara kegiatan Pramuka, OSIS, maupun upacara-upacara khusus dan hari besar, pengibaran hingga penurunan bendera.

Tahukan kamu hal yang sulit untuk aku lakukan?
Bukan. Bukan bagaimana cara berdiri dan berjalan tegap.
Bukan bagaimana cara menyamakan langkah dan mengompakkan gerakan.
Bukan juga cara mengibarkan bendera dari tiang bawah hingga ke atas.
Tetapi...
Bagaimana cara berkomunikasi kami sebagai tim, yang harus dalam diam mengkoordinasi semuanya agar pengibaran bendera berjalan sebaik mungkin. Pas dengan alunan lagu kebangsaan, sigap, tertata, disiplin, menarik, dan fokus.

Bagaimana?
Iya, dengan berbicara melalui tatap muka dan isyarat mata. Dan selama itu, kami selalu bisa saling berbicara dengan kode lewat mata dan mimik wajah. Aku bahkan kagum pada cara komunikasi Mas Bimo dan Mas Bangun yang begitu mantap, hingga mereka berhadapan di depanku sambil menarik tali bendera, sedangkan aku terdiam takjub pada komunikasi mereka. Mungkin... mungkin trio pengibar lainnya belum tentu bisa sekompak kami ! *halah...

Hmmmm... Tidak ada masalah dalam komunikasi dan koordinasi dengan kode antara Mas Bimo dan Mas Bangun sebagai penarik tali bendera hingga selalu pas mengantar Sang Merah Putih ke ujung tiang sesuai kumandang Indonesia Raya. Aku juga tidak menemukan masalah jika harus saling memberi kode pada Mas Bangun.... Masalahku adalah... Ketika harus menatap dan saling memberi kode kepada Mas Bimo !!

Ya Tuhan... aku selalu takut bahwa tatapan mata dan mimik wajahku 'keceplosan' memberikan kode yang lain -tentang perasaanku padanya-... Mungkinkah memang telah terjadi 'keceplosan' itu, Tuhan???

Maka setiap kali aku tidak bisa mengendalikan diri, aku hanya bisa membayangkan Sang Merah Putih yang bergerak gagah menuju puncak tiang. Ia berkibar diterpa angin segar, seperti hatiku yang berkibar diterpa tatapan Mas Bimo...



Minggu, 12 April 2015

Indah pada Saatnya -Seseorang Bertanya-

tahukah kamu?
semalam seseorang bertanya padaku: bagaimana perasaanmu saat tahu bahwa orang yang pernah kamu suka, itu menyukai temanmu?
  
pertanyaan yang mudah, namun sulit dijawab. apa aku sedih? iri? cemburu? marah? sakit hati? kecewa? entahlah...
karena sudah kulalui pengharapanku,
sudah kulewati saat-saat terpaku bila bertemu,
sudah kujalani berdiam diri menatap dari jauh.

setelah waktu berganti dan hari berlari, tidak ada yang terjadi. aku menyalahkan diriku yang hanya berdiam di sini.
walau kucoba menyapa setiap kali jumpa, aku hanya sibuk terpana.
aku coba menatap wajah, berharap kita saling pandang paling tidak, hingga ada senyum di sana walau tanpa kata.
atau paling tidak, kamu melihat bahwa aku ada. aku ada! namun kamu berjalan saja, aku pun diam saja...

apa aku sama sekali tidak pernah menyapamu?
apa aku belum pernah memanggil namamu?
hmmm, sapa dan panggilanku telah berlalu. bagimu, aku pun hanya selintas lalu.
pasti tak satupun sapaanku yang kamu bawa pulang, tak satupun senyumku yang kamu simpan.
tidak ada apapun tentangku yang berbekas dalam ingatan.
maka, banyak pertemuan hanya berakhir diam, banyak perjumpaan berakhir suram.

katanya, jika kita tidak bersama orang yang kita sebut dalam doa-doa, maka mungkin kita akan bersama orang lain yang menyebut nama kita dalam doa. jika namaku saja mungkin kamu tidak tahu, bagaimana caramu menyebutku dalam doamu? sedang memanggilku saja tak pernah terlintas dalam benakmu, bukan?
jika namanya yang kamu sebut dalam doa, maka mungkin seseorang juga menyebut namaku dalam doanya, entah di mana dia, entah siapa dia...

dan semua menjadi indah pada saatnya, memang. pada saat seseorang bertanya : bagaimana perasaanku saat aku tahu bahwa kamu menyukai temanku? aku tersenyum.
"aku telah mengharapmu dalam diam yang ikhlas, aku telah mengagumimu dalam kesendirian yang sabar. setelah semua itu, hanya ada rasa syukur, karena walaupun aku jelas kecewa, tetapi aku tetap bisa tersenyum menerima."
indah pada saatnya, bukan? ^_^




Pagi yang indah, 12 April 2015
7.44

Sabtu, 11 April 2015

Sang Angin: Semilir Sore Tentang Nama

Sore yang cerah.
Seperti hari-hari Rabu yang lain, aku telah berada di sekolah untuk latihan rutin kelompok inti Pramuka Sekolah. Iya, kelompok inti ini terdiri dari anak-anak yang akan bertanggung jawab dan sebagai pembantu pelaksana pada setiap kegiatan Pramuka di sekolah mulai dari upacara hari besar Pramuka hingga pelantikan anggota.
Kelompok inti terdiri atas anak-anak kelas 1 dan 2, sedangkan pengurus dari kelas 3 telah lepas jabatan untuk segera bersiap menghadapi ujian akhir.
Jadi, di sinilah kami: lapangan dalam sekolah yang luas, hijau, damai, dengan latar belakang pegunungan desa yang membujur di sebelah utara sana.
Latihan kali ini cukup santai, karena kami tidak sedang mempersiapkan kegiatan apapun maupun menghadapi perlombaan. Jadi, Kak Prapto, Kakak pembimbing kami, memberi materi tali temali yang seru, lalu dilanjutkan dengan permainan sambil menunggu waktu pulang.
Permainannya berupa kejelian berkumpul. Ah, lebih kepada untung-untungan sih, karena dia akan meminta kami berkelompok secara mendadak menjadi beberapa kelompok yang terdiri dari beberapa anak.

Bayangkan saja, jika banyaknya anak dalam satu kelompok yang dia kehendaki adalah 3 sedangkan jumlah keseluruhan anak tidak bisa dibagi 3, maka bersiaplah yang tidak kebagian kelompok akan menerima 'hukuman'. Sederhana, disuruh menyanyi, menari, mendeklamasi dasa dharma, tri satya, pancasila, bahkan pembukaan UUD '45 !!

Kegiatan sore itu semakin riuh karena tampak sekali Kak Prapto sengaja membuat salah satu dari kami yang paling 'lancar' berdeklamasi selalu terkena hukuman. Hehehehe, lama-lama dia pun protes dengan gayanya yang jenaka, membuat kami terpingkal-pingkal.

Maka, Kak Prapto menurut karena kasihan, itu pun masih sambil tertawa hampir tersedak tali temali yang tadi digunakan untuk belajar kami. Dan kemudian...
"Pasukan kumpul dengan kesamaan-"
Kami saling pandang, mencari kesamaan yang kami miliki dengan teman-teman.
Tegang, bersiap untuk berlari entah ke mana bersama siapa...
"Kelurahan asal !!"
Dan kami pun pontang-panting berlarian mencari teman sesama kelurahan.
Oh iya, walaupun SMP kami terletak di satu kelurahan, siswa yang ada datang dari berbagai kekurahan sekitarnya. Maka jadilah kami berlarian ke sana ke mari sambil sesekali lupa kelurahan teman, bahkan tiba-tiba menjadi amnesia dengan kelurahan sendiri!
Parahnya lagi yang membuat terpingkal-pingkal, beberapa anak salah masuk kelompok, ada juga yang tidak tahu dusunnya masuk kelurahan mana. Padahal mereka satu dusun, dan bergabung dengan kelompok kelurahan yang berbeda! Kemudian mereka berdebat hebat.
Kak Prapto melerai dengan tertawa. Setelah salah satu ingat kelurahan yang benar, ia malah tertawa lebih dahsyat.
Kami kembali diatur menjadi sekerumunan manusia yang tegang menanti perintah berkelompok selanjutnya.
"Pasukan kumpul dengan kesamaan... huruf depan nama lengkap!"
Baiklah, kami terbiasa memanggil teman kami dengan nama panggilan yang bisa jadi berbeda jauh dari nama aslinya.
Muhammad Shobarrudin.
Nama yang indah, ada nama Rasulullah di sana, ada juga harapan orang tua yang ingin putranya menjadi anak yang penyabar, mungkin. Tapi dengan penuh semangat dia berlari dan berkumpul dengan mereka yang bernama: Jumiati, Jefry Fauzani, Juni Lestari, Jumanto...
Sedangkan anak-anak dengan huruf depan M Seperti Muhammad Ikhsan, Minarti, Meri Wahdaniyah, dan Muhammad Eko Prasetyo berteriak dengan geli dan gemas memanggil Muhammad Shobarrudin : Jomad! Sini Jomad!Jomaaad!!! Siniiii!!!
Jomad alias Muhammad Shobarrudin baru menyadari kesalahannya dan berniat berlari kembali ke kumpulan bocah-bocah M sebelum Kak Prapto meniup peluit tanda waktu berlari habis. Tapi sial, dengan usil dan kejam, Jumanto dan Jefry memegang Jomad dengan kencang, sedangkan Juni dan Jumiati berteriak girang: pegang Jomad! Biarin, pegang Jomad!!
Dan anak-anak kelompok M juga terguling-guling menertawai Jomad yang kelabakan.
"Priiiiiiiiiiiiiiiit!!!"
Peluit Ka Prapto ditiup. Ka Prapto terduduk lemas di lapangan dengan masih menertawai Jomad. Kami semua tertawa. Barulah kemudia Jumanto dan Jefry melepas Jomad. Jomad bersungut-sungut sambil menuju tengah lapangan, bersiap menerima hukuman sambil menarik serta Jumanto dan Jefry. Mereka bertiga saling menarik dan menolak. Terpingkal-pingkal.
Akhirnya Ka Prapto memanggil Jomad sendirian, yang masih menggerutu, mengomel pada Jumanto dan Jefry dengan kesal tapi juga geli.
Ka Prapto memeriksa setiap kelompok yang terbentuk. Kami terdiam sama-sama memeriksa, barangkali ada 'penyelundup naas' di kelompok masing-masing.
Lalu pandangan semua orang tertuju padaku. Pada kelompokku, yang hanya terdiri dari DUA anak saja. Mas Bimo berdiri di sebelahku dengan kikuk, sementara kudengar yang lain melupakan Jomad dan mulai berteriak menggoda.
"Ciyeeeee Bimo, ciyeeeee" teman sekelas dan seangkatan Mas Bimo.
"Bimo mencari kesempatan dalam kesempitan!!" Teriak Jomad ikut menggoda.
Teman-temanku bersuit saking sahut, Ka Prapto pun ikut tertawa dan menggoda.
"Bim!! Lagi ngapain?? Asiiiik,,, hahaha"
Mas Bimo tidak terima digoda, tapi tampak senang dan malu-malu.
Aku melakukan hal yang sama, sementara mereka semakin riuh.
Di antara keriuhan itu, kudengar seorang teman dari kelompok S menyahut lantang: pasangan professor! Asiiikkk!!

Mas Bimo masih sibuk mengelak, Mas Prapto masih menggoda diikuti pasukan bodreknya, dan dalam gerakan pelan yang entah bagaimana,,, aku menatap Mas Bimo di sisiku dengan mata membulat.
Tingkah malu dan groginya, senyumnya...
Sore ini terasa behenti selamanya, sementara angin berhembus dari utara, meniup anak-anak Pramuka yang riuh berkeringat dan penuh semangat. Aku terdiam, menikmati semilir angin sore yang membasuh senyum Mas Bimo, menebarkan benih-benih harapan baru. tunas kelapa ada di jiwaku, tunas yang lain tumbuh dalam hatiku.

Bimo Santoso
Bintang Andini Ratih

Rabu, 08 April 2015

Sang Angin: Semilir Sepanjang Gatot Soebroto

Hari itu, aku diminta untuk mewakili sekolah lagi, tetapi bukan untuk lomba mata pelajaran biologi. Kali ini, informasi yang diterima sekolah tidak mendadak dan cukup jelas. Aku sudah diberi tahu sejak beberapa hari sebelumnya bahwa aku akan mewakili sekolah untuk lomba cerdas cermat matematika. Jadi, aku sudah menyiapkan diri lebih baik. Aku tidak sendiri. Aku bersama Mas Bimo dan Mbak Siti.
Pagi itu kami diberangkatkan sendiri dari sekolah, nanti Pak Sumar akan menemui kami di TKP alias lokasi lomba. Kami berjalan menyusuri jalanan depan sekolah yang tidak rata, berupa tanah berbatu-batu. Kami menuju jalan aspal di depan sana untuk menunggu angkutan desa yang lewat Margasana.
Sepanjang perjalanan, Mbak Siti dan Mas Bimo malah sibuk membicarakan ulangan fisika yang mereka tinggalkan demi lomba ini. Sedangkan aku masih diam, merapal banyak dia karena tegang. Hingga kami tiba di Margasana dan menunggu bis oranye yang akan membawa kami ke kota satria, kota administrasi kabupaten kami: Purwokerto.
Engkau tentu bisa menebak, Kawan, perjalanan macam apa yang aku alami. Iya, benar. Perjalanan di pagi yang indah, saat bis melaju syahdu sementara aku di dalamnya bersama Mas Bimo. Kami tidak duduk berdampingan, tentu, karena aku duduk bersama Mbak Siti. Tapi semua itu sudah cukup. Tegang dan gugup yang aku rasakan bukan hanya berasal dari lomba yang akan aku hadapi, tapi juga dari makhluk bernama Bimo yang duduk diam menekuri lembaran buku matematika di antara cahaya mentari pagi...
Kami turun di sebuah perempatan besar yang kami ketahui merupakan perempatan masuk ke kota Purwokerto baik dari arah Ajibarang maupun Wangon. Namanya Tanjung. Di sana kami harus menyeberang untuk naik angkutan kota. Angkutan kota di sini bentuknya persis dengan angkutan desa kami, hanya saja warnanya berbeda. Angkutan kota Purwokerto berwarna oranye. Pas sekali dengan warna tas Mas Bimo. Entahlah, sejak kenal Mas Bimo, sepertinya semua alat transportasi menjadi oranye di mataku.
Kami tahu nama tempat lombanya, tetapi tidak tahu lokasinya. Tadi pagi, Bu Astuti berpesan agar kami naik angkutan oranye bernomor F1. Mirip jenis balap mobil bergengsi dunia: Formula 1. Dan baiklah, mobil oranye itu datang, masih kosong. Dia berhenti tepat di depan kami, lalu langsung saja kami masuki. Mas Bimo sebagai satu-satunya laki-laki dalam rombongan kami, memastikan tujuan kami pada Pak Sopir.
“UPT Perpustakaan ya Pak?”
Si Bapak sopir angkutan mengangguk, lalu dengan cepat beberapa anak sekolah juga memasuki angkutan dan mengambil posisi masing-masing. Maka angkutan ini segera penuh dan meluncur di atas aspal kota yang halus nan hitam padat.
Aku melihat sekeliling angkutan yang berjalan. Bangunan-bangunan kota yang megah, pertokoan, minimarket, orang-orang berlalu lalang. Aku pernah ke Purwokerto sebelumnya, tetapi rute ini belum pernah aku lalui. Lalu angkutan berhenti di sebuah perempatan lain, dan banyak anak sekolah yang turun di sana. Aku melihat wajah Mas Bimo dan Mbak Siti yang berharap cemas dan meneliti semua papan nama bangunan yang dilewati angkutan. Saat kami sibuk dengan pikiran masing-masing, angkutan berhenti. Pak sopir berkata tanpa memalingkan wajahnya pada kami.
“UPT,”
“UPT Pak?” tanya Mas Bimo, pak sopir mengangguk.
Lalu kami turun dari angkutan dan Mas Bimo membayar ongkosnya. Angkutan segera pergi berlalu, meninggalkan kami di tepi perempatan, depan sebuah pangkalan becak. Aku bingung, dan Mbak Siti juga tampak bingung. Kami tidak melihat kerumunan siswa SMP ataupun guru-guru yang mengantar siswanya berlomba. Kami saling bertatapan, sementara Mas Bimo langsung mendatangi seorang tukang becak dan bertanya.
“Gedung UPT Perpustakaan di sebelah mana ya Pak?”
“UPT Perpustakaan?” Bapak becak tampak bingung, lalu menoleh pada teman seprofesinya.
“Perpustakaan daerah bukan?”
Kami bertatapan bingung.
“Pokoknya UPT Perpustakaan, Pak,” tegas Mas Bimo.
Bapak-bapak seprofesi itu kembali saling berpandangan, lalu menatap kami lagi.
“Kurang tau, dek. Coba jalan lurus aja,”
“Lurus ya Pak?”
“Iya, coba aja. Sepertinya ada,”
Kami dilanda kebingungan semakin tidak jelas. Kata orang, malu bertanya sesat di jalan. Ini kami sudah berani bertanya, tapi sepertinya masih juga tersesat. Kami saling pandang. Aku menemukan tulisan petunjuk nama jalan yang berwarna hijau di salah satu tepi perempatan: Jl. Gatot Soebroto.
“Ya udah coba lurus aja, lagian dari tadi kan kayaknya belum ngelewatin,” Mas Bimo memberi keputusan, Mbak Siti meragukan.
“Ya abis gimana Ti? Kita ikutin aja rute angkot F1, kan kata Bu Astuti naiknya F1. Mungkin pak sopirnya yang nggak tau. Lagian nama jalannya sama kok,” Mas Bimo benar. Aku diam menunggu kesimpulan. Akhirnya, Mbak Siti setuju bahwa kami sebaiknya berjalan melanjutkan arah rute angkutan F1, sepanjang Jalan Gatot Soebroto. Itu berarti kami harus berjalan lurus di jalanan tengah kota yang kami tidak tahu kami ada di bagian mana dari kota ini...
Maka kami pun berjalan, di atas trotoar pinggir jalan, kupandang ke arah kiri. Kami berjalan di sepanjang depan sebuah bangunan besar nan megah yang bertembok keliling tinggi dan memiliki halaman sangat luas. Itu adalah lapangannya, dan ada tiang Sang Merah Putih yang agung di bagian tepi lain nun jauh di sana. Bangunan megah itu adalah sebuah sekolah menengah atas. Aku dan Mas Bimo memandang kagum. Aku hanya tidak tahu bahwa bangunan itu pun kelak akan menjadi tempat berpusar kembali Sang Angin dalam simphoni yang lebih indah...

“Ayo cepet, udah mau jam sembilan nih,” Mbak Siti yang berjalan di sebelah kananku memecah kekaguman. Aku segera berjalan dan fokus ke depan. Ternyata Mas Bimo berjalan tepat di depanku! Aku menatap tas oranye di punggungnya, aku menatap dia. Sejauh ini, kulihat Mas Bimo begitu bertanggung jawab dan tegas dalam perjalanan. Ada kekaguman yang semakin mengalir. Ada sang angin yang semakin semilir. Jalan Gatot Soebroto akan terus menyimpan senyumku, kisahku, dan perjalanan ini hingga akhir...