Sabtu, 28 Maret 2015

Surat Hati

Sebuah surat ditulis oleh seorang gadis. Dia tahu bahwa dia jatuh cinta, tapi tidak ada yang bisa dilakukannya selain menulis isi hati. Pun itu tidak dia sampaikan pada si lelaki. Dia lakukan semua itu, hanya karena merasa sesak sendiri. Maka hanya Sang Pemilik Hati menjadi tempatnya melarikan diri melalui tulisan ini. Di sudut malam, si gadis merenung... Betapa besar hikmah perasaan ini untuknya belajar, bahwa mencintai itu harus ikhlas, tanpa memaksa dan sabar. Jika ini yang terbaik, maka cinta akan terungkap. Jika tidak direstui, maka dia tahu bahwa dia harus berhenti berharap...
Dan hanya pada Sang Maha Segala, dia serahkan semuanya.

"Assalamu’alaikum,

Aku selalu percaya, dan kamu juga tahu, urusan hati itu mudah bagi Allah. Sebentar berduka, lalu bahagia. Atau, sejenak berbunga, kemudian merana. Semudah itu, hati manusia dibolak-balik oleh kuasa-Nya. Karena Dia yang menciptakan semuanya, termasuk satu hal itu, maka hak dan wewenang Dia untuk mengendalikan dan mengatur hati ini.


Seperti saat jatuh hati, bukan hak kita memilih jatuh hati pada siapa. Bukan wewenang kita untuk menentukan menaruh hati pada siapa. Semua terjadi atas kehendak Dia, sudah dicatat demikian adanya, jadi kadang aku rasa, tak perlulah ditanya kenapa dan bagaimana bisa. Namun, saat hati tidak menemukan jawaban seperti yang diharapkan, jangan katakan juga bahwa Allah salah menaruhkan hati kita. Tidak, Allah tidak mungkin salah dan melakukan kesalahan. Atau apakah memang kita yang salah dalam menjalani kehendak-Nya? Mungkin Dia ingin kita supaya belajar menata hati kita saat Dia telah meletakkannya pada seseorang, sekaligus meletakkan harapan-harapan kita pada orang itu.


Seperti jika aku jatuh hati pada seseorang, siapa pun dia, maka beberapa alasan yang muncul hanya sebagai pengias sebab perasaan itu ada. Karena pada dasarnya, perasaan itu ada juga karena kehendak Dia. Maka biar sekarang akan kuceritakan tentangmu, seseeorang yang kemudian menjadi tempat hatiku tercuri. Kamu, tiba-tiba hadir dalam hidupku. Lalu aku rasakan bahwa memang keajaiban apapun yang Allah lakukan, tak akan ada yang bisa menahan. Dan aku sadar benar ada getar yang berbeda saat aku bertemu denganmu. Sekian waktu aku dirundung kegelisahan tak pasti akan perasaan yang tiba-tiba memenuhi hati, menjelma serupa ingatan yang tak ingin lekang dari sosokmu. Ingatan akan suaramu, wajahmu, kelucuanmu, semuanya tentangmu.


Sampai aku berpikir bahwa ini semua mungkin hanya khayalan, perasaan semu, dan  sekadar impian. Aku makin mencoba kuat untuk mengendalikan hati, kapanpun aku bertemu denganmu. Saat kita berbincang kau tak pernah tahu, bagaimana hatiku melonjak dan jantungku seolah melompat-lompat. Saat aku melihat gerakmu, sinar matamu, wajahmu, cara bicaramu, aku temukan sosok yang memiliki banyak hal yang aku ingini dari seorang pria. Memang kamu tidak sepenuhnya sempurna, tapi sejauh ini kamu membuatku terpana dengan apa yang kamu punya. Ada pertimbangan yang mengusikku, tapi sedahsyat itu pula kamu mengusik kalbuku.


Rasa ini bahkan dimulai sebelum aku mengenalmu, sebelum ada percakapan ataupun bertatap muka ketika berjumpa. Rasa ini muncul saat aku mendengar cerita tentangmu. Sebelum aku melihat semua yang ada padamu, bergilir cerita bagaimana keseharianmu, seperti apa perangaimu, dan apa saja yang telah kamu lakukan membuat aku terpikat untuk lebih mengenalmu. Kadang, aku ingin tunjukkan bagaimana perasaanku padamu, tapi aku malu dan takut terlalu terburu-buru. Maka setiap perjumpaan hanya salam, anggukan atau senyum keramahan. Tak ada obrolan bermakna, bahkan sapaan nama. Ah, lagipula, aku tak pernah benar-benar tahu apa arti diriku bagimu.

Selain itu, aku mendengar bahwa kamu sendiri yang mengatakan bahwa kamu ingin fokus pada dirimu, berkarier, memperbaiki dan mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk masa depanmu. Ah! Aku semakin kagum padamu!


Sejujurnya, aku takut semua perasaan ini hanya berujung khayalan semata. Aku sedang diganggu perasaan, atau bahkan setan yang jalang. Atau... Mungkin Allah sedang menguji hatiku. Mungkin Allah sedang ingin aku belajar. Atau... mungkin memang aku yang tak bisa menata hati saat Allah menghadirkan kamu padaku.


Dan jika nanti hari berganti, jika nanti waktu berlari, itu hak Allah lagi untuk menentukan oleh siapa hatiku tercuri. Itu hak Allah juga untuk membuatku berhenti dari perasaan ini, atau berlanjut di luar kendali. Tapi sekarang, atas kehendak-Nya, hatiku ada padamu. Aku tak tahu apakah ini memang perasaan gadis yang menjelang dewasa, atau aku yang sedang dibutakan oleh api asmara remaja. Aku juga tak mengerti apakah ini akan bertahan layaknya kisah cinta abadi, atau hanya dongeng semalam sebagai pengantar mimpi.


Mungkin aku berharap terlalu jauh, berkhayal terlalu tinggi. Aku tidak tahu. Yang aku yakini, sekali lagi, ini semua terjadi atas kehendak-Nya. Terjadi begitu saja, mengalir di luar kendali kekuatan manusia, apalagi kendaliku sebagai seorang makhluk hawa. Sungguh, mungkin seperti ini Allah membolak-balik hati hamba-Nya.


Duhai laki-laki idaman, saat ini hingga entah kapan, aku ingin kamu menjadi imamku. Aku membayangkanmu menjadi abi, ayah, bapak, atau apapun sebutan itu, bagi anak-anakku. Aku ingin menjadi wanita yang pertama kamu lihat saat membuka mata di waktu pagi dan yang terakhir kali kamu tatap sebelum terpejam, setiap malam. Tapi, yang bisa kulakukan kini hanyalah mengharapmu dalam diam...

Duhai laki-laki penerbang hati, aku menghormatimu dan aku pun ingin menjaga diri. Maka akan kucoba untuk menata hati. Jika kita memang berjodoh, maka aku tidak akan ke mana dan kamu bisa datang kapan saja, saat kita benar-benar siap untuk bersama. Jika tidak, maka aku yakinkan bahwa dengan seizin-Nya, Allah akan memberi jalan terbaik untuk kita. Bagaimana pun jalan itu, aku percaya kita akan bahagia, walau tidak bersama. Allah pasti akan membuat hatiku ikhlas melepasmu, Allah pasti akan membalik hatiku darimu, dan Allah sendiri yang akan membuatku berpaling darimu, membuat pesonamu tak lagi menyihir mataku dan menyembuhkan kecewaku karena tidak bisa memilikimu. Jika memang demikian baiknya untuk kita menurut pengetahuan-Nya, aku pasti akan rela.


Semua butuh proses, dan proses butuh waktu. Aku juga butuh waktu, tentu, hingga mungkin tiba saatnya nanti, apabila kenyataan tak sesuai mimpi...

Aku bisa mengingatmu tanpa harus ada sesuatu di dadaku yang berdegub kian kencang. Saat aku melihat fotomu, tanpa merasakan desiran darah yang lebih cepat. Saat aku mendengar nama atau suaramu, tanpa rasa getar yang menjalariku. Dan yang terpenting, saat aku bertemu denganmu, aku tak perlu lagi terpaku pada sosok dan senyummu.

Seseorang, atas restu Allah, aku ingin memilikimu. Atas kehendak Allah, hati ini tercuri olehmu. Dan aku berdoa pada Allah untuk segala kebaikan bagimu....

Wassalamu’alaikum..."

22 Mei 2014 (01:35)


Kamis, 26 Maret 2015

Sang Angin: Semilir di Pagi Yang Cerah

Pagi yang tenang, saat aku sudah tiba di perempatan jalan raya. Hari itu, aku dan beberapa siswa yang akan mewakili perlombaan mata pelajaran tingkat kabupaten. Aku diberi tahu begitu mendadak kemarin siang. Baru saja sampai di rumah, seorang kakak kelas yang kebetulan rumahnya bertetanggaan denganku, mampir ke rumah dan mencariku. Aku baru saja berganti pakaian dan menuju ke ruang makan. Aku mendengar seseorang memanggilku dari luar, maka aku membuka pintu depan.

“Ra, tadi aku dititpin pesen sama Pak Sumar, katanya kamu disuruh belajar Biologi. Besok disuruh ikut lomba, katanya kamu disuruh nunggu di Margasana besok pagi jam 6 pagi.”

“Hah? Kok mendadak gitu, Mas?”

“Iya, tadi begitu. Kalo nggak percaya, tanya aja sama Mas Toro. Tadi pas aku dipanggil, ada Mas Toro juga. Paling ntar Mas Toro kasih tau juga.”

“Oh, yaudah, makasih, Mas Atno,”

“Sama-sama,”
Aku terdiam, mencoba mencerna informasi yang mengejutkan itu.

Oh iya, di Sang Angin: Berhembus di Perpustakaan, aku ceritakan bahwa aku diminta belajar Biologi juga untuk ikut lomba mata pelajaran tingkat kabupaten. Nah, selama tiga hari itu aku habiskan jam sekolahku untuk belajar bersama dengan Mas Bimo di perpustakaan. Kami hanya membaca buku cetak Biologi masing-masing, merangkum, dan mencoba memahami, dan menghapal. Kebanyakan aku menikmati bukuku sendiri, tak banyak bertanya padanya, karena dia tampak begitu serius. Aku juga lebih nyaman dan fokus menyerap materi dengan membaca.

Seharian mengejar materi Biologi, malamnya di rumah, aku mengejar materi di kelas. Aku meminjam buku catatan teman, menyalin, membaca ulang, dan mencoba memahami sendiri. Aku terlalu asyik dan terlalu bersemangat, sepertinya, sehingga aku aku lembur, aku telat makan, dan pada malam ketiga, kebetulan aku pergi ke warung Uwak, dan tiba-tiba angin dingin hadir, lalu gerimis menyusul. Aku segera pulang. Uwak menawariku payung, tapi aku menolak karena saat itu hanya gerimis. Ternyata, tak lama setelah itu, hujan lebat datang. Aku berlari. Uwak memanggilku, tapi aku hanya berlari.

Pagi harinya, aku tidak bisa bangun. Kepalaku begitu berat, sementara badanku menggigil hebat. Badanku panas, mataku panas. Aku demam. Sejak hari itu hingga beberapa hari ke depan, aku tidak masuk sekolah. Aku sakit. Maka, tidak ada belajar bersama dengan Mas Bimo, tidak ada hembusan angin di perpustakaan. Angin sedang meliuk-liuk dalam tubuhku, sama kuatnya dengan rasaku ingin segera bertemu Mas Bimo di sekolah masuk sekolah. Tentu saja, kesempatan untuk kompetisi mewakili sekolah pada saat itu pun lepas... Terhempas... Untuk kompetisi saat itu, Mas Bimo yang akhirnya mewakili sekolah. Yah, kalau dipikir-pikir memag sudah sepantasnya begitu, aku saja yang terlalu bersemangat. Hehehehe...

Baiklah, untuk kompetisi kali ini, aku diundang lagi untuk mewakili sekolah pada bidang Biologi. Terbesit dalam pikiranku, mengapa aku? Bukankah Mas Bimo yang kemarin pasti sudah belajar lebih banyak, sudah berpengalaman, sudah jago pastinya! Mengapa aku yang dipilih sekarang? Entah bagaimana, napsu makan siangku menguap. Aku bergegas keluar, bermaksud menemui Mas Toro, yang tidak lain adalah sepupuku.

“Uwak, Mas Toro di mana?”

“Itu lagi makan, di halaman belakang,” kata uwakku yang memiliki warung kelontong itu.

Aku berlari ke halaman belakang rumah uwak, dan melihat Mas Toro sedang berjongkok di dekat  pintu belakang, ada piring di tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya sibuk menyuap dan sesekali menyebar nasi ke arah kerumunan ayam dan anak-anaknya yang ikut sibuk makan bersama sang majikan.

“Mas, Mas Toro!”

“Eh, Ra. Kenapa? Oh iya, tadi Pak Sumar nyariin. Tadi aku sama Atno dipanggil buat bilangin kamu, suruh belajar Biologi buat besok lomba ke kabupaten. Besok pagi kamu disuruh nunggu di Margasana. Nanti Pak Sumar dateng anter kamu ke Purwokerto,”

Aku menatap dan mendengar setiap kata yang terlontar dari mulut Mas Toro yang penuh nasi itu. Aku tertegun.

“Aku sendirian, Mas?”

“Nggak, tadi kayaknya ada anak kelas 2 kok,”

Aku terlonjak dalam hati, berharap itu Mas Bimo! Siapa aku dan Mas Bimo kali ini yang akan menjadi wakil sekolah untuk kompetisi Biologi besok. Ah, tapi entah bagaimana, aku sendiri yang mengingkari harapan itu. Apalagi saat Mas Toro melanjutkan kalimatnya.

“Itu loh, yang ketua PMR,”

Baiklah, itu Mbak Siti. Mbak Siti adalah teman sekelas Mas Bimo. Jadi bukan Mas Bimo yang ikut. Ya sudahlah, sekarang aku tidak bisa mengelak, aku harus belajar untuk besok. Ah, untung saja aku sudah pernah belajar sampai sakit, hehehe...

“Oh, gitu. Ya udah, makasih ya, Mas.”
Lalu aku pergi, dan Mas Toro kembali sibuk dengan piring dan ayam-ayamnya.

Dan pagi ini pun tiba. Aku duduk sendiri di kursi bambu panjang tempat calon penumpang menunggu bus atau angkutan ke arah timur, arah kota kabupaten. Sedangkan sepanjang jalan raya ini masuk dalam jalur mudik selatan. Kalau sedang arus mudik, kendaraan hilir mudik begitu ramai. Tapi, pagi ini masih jauh dari idul fitri. Kendaraan yang lewat hanya angkutan umum yang sesak oleh anak-anak sekolah berseragam abu-abu putih dan motor-motor pedagang yang hendak pergi ke pasar, atau beberapa truk pembawa singkong.

Aku sudah menunggu sejak jam enam kurang, dan sekarang sudah jam tujuh lebih seperempat. Tukang-tukang ojek di pangkalan yang tidak jauh dari kursiku duduk sesekali memperhatikanku. Ada yang bertanya aku mau ke mana, lalu kujawab saja mau ikut lomba ke kabupaten. Dia tersenyum senang dan kagum, lalu berlanjut rumahku di mana. Aku pun menjawab dengan polos nama dusunku. Ada tukang ojeg yang kenal salah satu priyayi di dusunku, dan bertanya rumahku sebelah mananya rumah beliau. Kami pun jadi mengobrol ringan tentang sekolah di mana, bersama siapa ke kota kabupaten, lomba apa, berapa anak yang ikut lomba, dan sebagainya.

Tak lama kemudian, sebuah angkutan berwarna hijau, warna khas angkutan desa kami, berhenti tepat di depan kursi tunggu yang aku duduki. Aku melihat wajah Pak Sumar tersenyum lebar, lalu beliau turun sambil tertawa.

“Owalah, kamu sudah di sini rupanya. Kami tunggu-tunggu di sekolah, Bapak kira pesan Bapak kemarin tidak sampai,”

Pak, kalau pesan Bapak tidak sampai dan saya berangkat ke sekolah seperti biasa, apa lalu saya akan tetap dibawa untuk lomba padahal saya belum belajar dan tidak tahu apa-apa??

Aku menyalami tangan beliau dan tersenyum saja. Setelah Pak Sumar turun, Mbak Siti menyusul turun dan tersenyum ke arahku. Aku pun membalasnya.

“Ini, Ra, hari ini ada lomba MIPA. Yang dilombakan itu Matematika, Fisika, dan Biologi,” Pak Sumar masih terus berbicara, sementara dari sudut mata aku masih bisa melihat orang lain yang turun. Setelah Mbak Siti, ternyata ada Bu Yanti, Guru Biologi kelas 2. Setelah Bu Yanti, aku kehilangan fokus dengan apa yang diucapkan Pak Sumar. Mas Bimo turun dari angkot yang sama. Aku terpana.

“Waaah, alhamdulillah, Ratih udah di sini. Kami kira tidak masuk, mau ditinggal saja tadinya,”

Aku terkekeh, lalu menyalami tangan Bu Yanti, dan aku tidak bisa menahan diri untuk menyapa Mas Bimo dengan senyuman sedikit saja. Hanya sebentar. Aku malu menatap wajahnya...

“Iya, jadi nanti Siti yang maju buat Fisika, Bimo yang Matematika, Ratih Biologinya. Kan kemarin kata Bu Erni, Ratih sudah belajar Biologi bareng Bimo kan?”

Pak, memang Bu Erni tidak cerita kalau saya belajar sampai sakit ya, Pak? Kenapa saya yang Biologi Pak? Kenapa bukan Mas Bimo yang kemarin sudah maju? Kenapa saya yang masih kelas 1, Pak? Kenapa Pak? Kenapa tidak menunjuk kelas 2, Pak? Bu Erni menunjuk saya hanya karena melihat buku catatan Biologi saya, Pak. Bukan berarti saya jagoan Biologi, Pak. Saya belajar Biologi sampai sakit, Pak. Bu Erni tidak cerita, Pak? Pak??

Dan aku tersenyum dan menjawab dengan ramah, “Iya, Pak,”

“Ya sudah, ayo kita tunggu busnya,” Bu Yanti membayar ongkos angkutan, lalu mengajak kami berdiri lebih kearah timur dari kursi tunggu. Kami menanti angkutan berwarna oranye yang akan membawa kami ke kota kabupaten. Bu Yanti dan Pak Sumar masih tertawa-tawa dengan kisah pagi ini yang sempat membuat bingung guru mata pelajaran dengan keberangkatanku untuk ikut lomba ini.

“Untung kamu ke sini, Ra. Soalnya sekolah kan udah ndaftarin 3 siswa, jadi kalo tadi mau bawa 3 siswa, takutnya kamu beneran udah di sini. Kami tuh nunggu-nungguin kamu di sekolah, tapi karena udah jam 7, takut kesiangan sampai sana, jadi kami berangkat aja, mudah-mudahan kamu beneran udah di sini. Kalo kamu nggak di sini, sekolah ya cuma kirim wakil 2 orang buat 2 mata pelajaran. Untung bener kamu udah di sini, Ra,” Mbak Siti memulai obrolannya denganku dengan wajah ramahnya yang sejuk. Pantaslah dia menjabat ketua PMR.

“Hehehe, iya, Mbak. Kemarin sodara aku ngasih tau. Aku malah Cuma baca-baca tadi malem, nggak tau juga materinya apa aja,”

“Nggak papa, Ra, yang penting maju dulu, hehehe, kami juga cuma baca-baca ya, Bim?” Mbak Siti menoleh pada Mas Bimo.

Aku sekilas memandang Mas Bimo yang menyimak obrolan dan menyetujui pernyataan Mbak Siti.
“Orang dikasih taunya juga kemarin siang, Ra, pas mau pulang sekolah,”
“Iya, Ra,”

Aku mengangguk-angguk. Obrolan mungkin bisa berlanjut jika Bu Yanti dan Pak Sumar tidak memperingatkan kami bahwa bus yang kami tunggu datang. Bus berhenti, lalu kami naik satu per satu. Aku duduk bersama Mbak Siti, Pak Sumar dengan Mas Bimo, serta Bu Yanti duduk dengan seorang ibu berkerudung hijau di belakangku dan Mbak Siti.


Bus melaju. Mas Bimo dan Pak Sumar mulai membicarakan materi Matematika. Mbak Siti membuka tasnya, dan mengambil buku catatan Fisika. Aku tidak mendengar dengan jelas apa yang dibicarakan Bu Yanti dengan ibu berkerudung hijau di belakang, sepertinya tentang cuaca yang cerah pagi ini. Sementara, aku melirik sebentar ke arah Pak Sumar dan Mas Bimo yang kursinya berseberangan dengaku dan Mbak Siti. Kemudian aku memandang hamparan sawah di seblah kanan jalan raya ini. Dalam diam, aku setuju dengan obrolan Bu Yanti di belakang tentang cuaca cerah. Tapi aku merasakan sesuatu yang lebih. Karena semilir Sang Angin pagi, terasa begitu segar melalui jendela-jendela bus ini. Sinar mentari yang hangat menyinari alunan deru bus oranye yang kian cepat. Dan Mas Bimo ada dalam bus yang sama denganku. Ingin aku katakan pada Bu Yanti dan ibu berkerudung hijau di sebelahnya, atau bahkan pada seisi bus beserta pak sopir dan kondekturnya bahwa, ini bukan hanya pagi yang cerah. Ini adalah pagi yang indah :)



Senandung Gerimis

Gerimis di awal musim hujan, 2012...

Aku diam. Sekonyong-konyong limpahan kenangan berkelebat dalam benakku. Samar namun pasti, satu per satu muncul bagai aku melihatnya pada layar lebar. Mulutku tertutup, belum ingin mengatakan apapun. Sementara kamu juga masih menatapku. Aku menunduk, menyusun tiap derai napas dan kata dalam rangkaian kalimat yang mungkin akan aku ucapkan.

Semua berawal dari pertemuan pada pelantikan Pramuka Penggalang di SMP kita. Saat itu kamu baru saja lulus dari sebuah SMA ternama di daerah kita, dan aku baru naik ke kelas 2 di sebuah SMA ternama di kota kabupaten kita. Itu adalah liburan semester genap. Dua hari dua malam kita di perkemahan sebagai panitia pelaksana dan kakak pembimbing bagi adik-adik Pramuka. Di sana kita berjumpa lagi setelah kurang lebih dua tahun terpisah dari hubungan kakak-adik kelas. Setelah kamu lulus dari SMP dulu, aku tidak pernah lagi tahu tentang kamu. Aku juga tidak ingin tahu. Semuanya belum penting bagiku.

Namun, ada yang berbeda pada pertemuan di perkemahan ini. Aku tidak tahu apa dan mengapa. Akhirnya, kedekatan-kedekatan selama kegiatan pelantikan berlanjut lewat pesan-pesan singkat dari ponsel ke ponsel. Hingga kamu pergi ke kota metropolitan, kita masih menjaga komunikasi. Tanpa pertemuan langsung, dengan cukup meyankinkan kamu memintaku menjadi pacarmu malam itu, lewat telepon! Aku katakan bahwa aku butuh waktu 2 hari untuk berpikir, padahal aku pun memiliki perasaan yang sama. Perhatian, kepedulian, dan kebaikanmu membuatku lupa pada cowok lain yang sebenarnya saat itu sedang kusukai.

Tanggal enam, bulan enam, tahun dua ribu enam Kita menjadi sepasang kekasih jarak jauh. Makin hari, kamu makin peduli dan dengan pasti, sejalan bersama kedekatan kita, kamu pun merebut hatiku sepenuhnya. Kita hanya melepas kerinduan lewat kata-kata lucu di pesan singkat, melalui suara dari seberang sana aku mendengar ucapan sayangmu setiap malam. Setiap malam! Sesekali kita berbagi foto melalui akun Friendster, memberi komentar lucu dan meledek satu sama lain.

Empat bulan kemudian, akhirnya kita bertemu. Andai kamu tahu, tak ada lagi yang aku rindu selain kamu, tak ada lagi yang kutunggu selain kedatanganmu, tak ada lagi yang mengisi pikiranku selain kamu. Semuanya kamu! Pertemuan yang mendebarkan, saat aku mencoba menghubungimu dari tempat kita janjian. Aku meneleponmu, lalu jawabmu: 'halo?' dari belakangku. Aku menoleh terkejut, dan kamu tersenyum. Senyum yang begitu manis hingga aku terpaku!

Selama kamu berada di desa, kita pun sering berjumpa. Sering kali kamu sengaja membawa motor Jupitermu yang merah itu lewat depan rumahku di sore hari, setelah memberi tahuku agar duduk di teras rumah, atau berdiri di halaman. Apapun, asal saat kamu lewat, kamu bisa melihatku. Aku pun juga melakukan hal yang sama, saat aku harus pergi, maka aku sengajakan untuk lewat depan rumahmu, menoleh dan memandang senyum manismu.

Malam Minggu, aku pun katakan pada kedua orang tuaku bahwa akan ada yang datang menemuiku: kamu. Mereka mengizinkan saja. Dan beberapa kali kamu pun datang. Kita mengobrol ringan di ruang tamu, duduk berhadapan saling bertukar senyum dan cerita-cerita lucu atau sekedar curhat mengenai keseharian. Saat hari libur, kita menikmati semangkuk soto khas daerah kita, atau es teh di warung makan setelah seharian berkeliling dengan motormu. Tapi semua itu berakhir saat kamu harus kembali ke kota dengan niat akan kuliah sambil bekerja. Maka aku pun melepasmu dengan senyum walaupun tak rela.

Waktu berlalu...

Tidak ada hubungan tanpa masalah. Dari kamu tidak diterima di salah satu perguruan tinggi ternama yang sejak lama kamu idamkan, penurunan prestasi belajarku hingga persoalan keluarga mulai mengusik hubungan kita. Tapi nyatanya, kita tetap berusaha bertahan bersama. Aku selalu percaya kasih sayangmu, dan kamu pun tahu bahwa aku menyayangimu. Aku ingin tetap bersamamu, mengerti apapun keadaanmu, menerima bagaimanapun dirimu. Kita seolah bisa berbagi kasih dalam kejauhan ini, saling mengerti dan menerima sepenuh hati.

Pelan tapi pasti, masalah-masalahmu menjadi masalah-masalahku juga. Apa yang engkau alami, masuk ke dalam alam pikir dan mimpiku. Aku banyak ikut memikirkanmu, keadaanmu, semua tentangmu di sana. Aku berikan sepenuhnya perhatianku agar kamu tetap tegar menghadapi semuanya. Aku selalu yakinkan bahwa aku ada di sisimu, dan bahwa kamu tidak sendirian. Dan kemudian, aku terpuruk... Prestasi belajarku, organisasi, pertemanan, semua terbengkalai karena aku begitu fokus padamu! Maka kemudian sesak itu datang saat segalanya kurasa melayang dan jatuh berdentuman.

Andai kamu tahu, aku banyak menangis di tengah malam, aku sering ingin menjerit di kala siang. Kedua orang tuaku kecewa, dan aku semakin menanggung kesedihan yang tertahan dalam dada. Sulit bagiku mengerti arti kata dan angka dalam buku Kimia, Fisika, Matematika, bahkan Bahasa! Butuh perjuangan bagiku untuk membuka buku di malam hari, mengerjakan tugas saja harus aku lakukan saat dini hari, itu pun jika aku terbangun. Kalau tidak, aku sudah bersiap sejak pagi meminjam hasil pekerjaan teman. Aku tidak pernah lagi merangkum materi pelajaran, membaca pun bagiku menjadi sebuah perjuangan yang sulit aku menangkan. Sederhana, karena setiap malam aku habiskan untuk berbicara denganmu lewat pesan-pesan atau sekedar berteleponan. Atau... Seringkali karena sulit bagiku berkonsenterasi, sehingga aku malas dan tidak sepenuh hati.

Siang itu, kamu masih menanyakan apakah aku sudah makan. Lalu di pangkal malam, kau mengabariku dengan nomor berbeda, bahwa ponselmu baru saja hilang, mungkin dicuri teman. Kamu tidak akan bisa dihubungiku lagi entah sampai kapan. Kamu berjanji akan menghubungiku sebisa mungkin, tapi selama kamu belum menemukan pekerjaan dan belum bisa membeli ponsel pengganti, maka kita tidak bisa berkomunikasi dengan nyaman. Lengkap sudah, hubungan jarak jauh kita makin sempurna. Tapi kamu harus tahu bahwa aku masih bersamamu. Aku selalu berdoa untuk kebaikanmu, selalu berharap diberi petunjuk yang terbaik bagi kita.

Komunikasi kita terhambat, sementara aku kian gelisah tanpa kabar darimu. Hari-hari berlalu dengan rasa khawatir tak berujung, menanti beritamu atau paling tidak ucapan selamat pagi darimu, pertanyaan sudahkan aku makan, atau selamat malam. Tidak ada. Aku kesepian... Aku tidak mengerti bagaimana tepatnya, tetapi sepertinya kamu mulai kehilangan kepercayaan atas dirimu sendiri. Kamu merasa bersalah dan bertanggung jawab atas semua keterpurukanku. Kamu mulai merasa tidak pantas untukku. Sedangkan aku susah payah berusaha mempertahankanmu, mempertahankan kita. Apapun yang terjadi, aku tetap ingin memilikimu. Iya, tetap memilikimu adalah harapanku sebagai seorang remaja yang jelas sedang dirundung asmara: memiliki kekasih pada hari ulang tahun ke-17.


Menjelang hari istimewa....

Malam itu, aku bahkan belum selesai bercerita kepada sahabatku bahwa aku bahagia karena memilikimu. Aku masih bercerita dengan tersenyum, bahwa aku sangat menyayangimu seperti kamu menyayangiku. Lalu, tiba-tiba pesan singkat itu masuk ke ponselku...

kita berteman saja. maaf...

Pesan singkat, tanpa nama. Saat itu juga aku terdiam. Jantungku berdegub tidak karuan, napasku mulai tidak beraturan. Aku menduga, tetapi menolak untuk percaya. Aku butuh kepastian, saat itu juga. Aku pun membalasnya dengan singkat.

ini siapa?

Dengan jantan, kamu tulis namamu sebagai balasan pertanyaanku. Darahku berdesir, mataku panas, aku gemetar. Aku menelpon nomor itu.

"Halo?"
"Ya..."
Tidak salah lagi, itu suaramu. Terdengar lesu.
"Maksud kamu apa?"
"Ya... itu. Kita berteman aja."
"Aku salah apa?"
"Nggak ada..."
"Terus kenapa begini?"
"Kamu nggak salah..."
"Terus kenapa?"
"Aku bukan yang terbaik buat kamu..."
"Oh, ada yang lain ya?"
"Nggak, bukan begitu. Sumpah. Maaf. Aku cuma pengen sendiri dulu... Maaf ya..."

Lalu hubungan suara jarak jauh itu pun terputus, seperti hubungan jarak jauh ini, putus sepihak! Aku tidak terima. Aku kembali menghubungi nomor itu. Ditolak. Lagi, dan kembali ditolak. Aku mengirim pesan agar kamu mau mengangkat. Tidak dibalas. Aku menelepon kembali. Tidak aktif lagi... Dan air mataku meleleh tanpa henti, hingga pangkal pagi...

Hari berikutnya, aku masih tidak percaya dengan apa yang terjadi. Aku seperti ingin tidur sejenak, lalu bangun dan mengetahui bahwa aku hanya sedang bermimpi. Semuanya terkendali dan baik-baik saja. Atau aku terpejam sebentar, mungkin ini hanya khayalan dan andai-andai karena ketakutanku akan kehilanganmu. Tetapi, pagi memang menawarkan kisah yang baru: aku tanpamu. Ini kenyataan.

Aku masih terus mencari alasan darimu. Aku menanyakan semua ini pada teman-temanmu, terutama teman dekatmu.
"Dia emang lagi banyak masalah, Fi. Terakhir ngobrol emang dia katanya pengin sendiri. Udah aku cegah supaya nggak gegabah. Tapi, ya udahlah, mungkin ini yang terbaik buat kalian." begitu jawaban sahabatmu.
Lalu kamu menghilang, tanpa kabar, entah ke mana. Sahabatmu pun tidak tahu kamu di mana! Kamu menghilang. Ke mana lagi aku harus mencarimu? Atau minimal mencari tahu tentangmu? Aku tidak tahu lagi...

Malam istimewa...

Teman-teman kost ku masih bergembira dan menikmati kue tart tengah malam itu di kamarku. Aku tahu, mereka berusaha dengan baik untuk menghiburku. Mereka tahu apa yang terjadi padaku, mereka mengerti bagaimana aku. Lalu handphone-ku berbunyi. Panggilan dari nomor baru. Aku menatap teman-teman, lalu mereka mempersilakan aku untuk menerimanya. Mereka juga tahu bahwa dalam diam, aku mengharapkan ucapan darimu, yang entah ada di mana saat itu.

Aku masih diam menerima panggilan itu. Di antara harapan bahwa itu adalah dirimu dan berjaga-jaga saja mungkin itu panggilan orang iseng atau salah sambung.

"Halo?" itu suaramu di seberang sana!
"Iya,"
"Selamat ulang tahun ya? Semoga panjang umur, sehat selalu, dan cita-cita tercapai. Sukses selalu yah,"
"Amin. Makasih."
"Maafin aku ya?"
Aku berdoa dan berusaha agar tidak menangis saat mendengar suaramu, saat bicara denganmu. Tetapi air mata mengalir begitu saja. Aku diam.
"Kamu nangis?"
"Iya, udah aku maafin."
"Aku banyak masalah. Aku cuma pengen sendiri. Maaf ya?"
"Iya. Ya udah, makasih buat ucapan dan doanya."
"Iya.... Sama-sama,"

Ada beberapa detik kecanggungan di sana. Aku tidak ingin mengakhiri ini semua, pun tidak ingin mengakhiri percakapan ini. Kamu juga diam, entah apa yang kamu pikirkan. Aku teringat teman-temanku yang menanti.

"Ya udah. Sekali lagi makasih ya,"
"Iya."
Setelah berucap salam, sambungan telepon pun terputus.

Waktu terus berlalu...



Aku selalu ingin kamu tahu, bahwa aku merindukanmu. Aku meradang di pangkal pagi hingga ujung senja. Aku merana dari titik terang siang, hingga sudut gelap malam. Melodi-melodi lagu sedih menjadi temanku di malam hari, lalu terus terngiang di siang hari. Dan kamu tetap tidak ada kabar sedikitpun... Kamu menghilang. Bayanganmu menyingkirkan setiap laki-laki yang mendekatiku. Tidak ada yang mampu mengobati lukaku karena kehilanganmu. Setiap kenangan tentangmu beriring bersama derai napasku. Sekeras apapun aku mencoba, aku selalu gagal melupakanmu. Segila apapun aku berusaha mencari tahu tentangmu, tetap saja hanya menyisakan rasa penasaran yang menghujam hatiku. Kisah tentangmu, tentang kita, menjadi curahan hati terindah yang kutulis di setiap lembaran buku harianku. Aku selalu berdoa akan keajaiban saat tiba-tiba kamu datang, atau tanpa sengaja kita bertemu.

Nihil...

Lalu aku sadari, semua tentang kita sudah berakhir. Maka aku pun harus mengakhirinya dengan tegas dan berani. Aku herus tega pada diriku sendiri agar tidak terus-menerus mati suri. Aku harus menghapus semua fotomu dan foto kita. Aku singkirkan semua catatan tentang kita agar tidak mudah kuambil untuk diratapi lagi. Aku harus belajar hidup tanpamu. Aku harus berdamai dengan kenangan, masa lalu, dan perasaan yang tidak menentu. Aku tidak perlu berjuang keras untuk melupakanmu, aku hanya perlu mengingatmu dengan tenang dan perasaan terkendali. Aku akan berperang dengan keterpurukanku. Biar saja dirimu pergi, dan aku belajar merelakan. Biar saja kisah kita menjadi kenangan dan memberi banyak pelajaran...

Aku telah menghabiskan bertahun-tahun dalam ketidakpastian dari suatu hubungan yang hanya berjalan hanya dalam jangka bulanan. Aku telah mencintaimu secara berlebihan. Aku telah mengorbankan waktuku hanya untuk mengejar jejakmu yang samar. Aku ingin kembali seperti dulu, saat aku tanpamu. Aku mulai menyadari, bahwa aku telah berjalan terlalu jauh dalam pilu dan sendirian. Sudah saatnya bagiku untuk kembali dari petualangan tanpa hasil ini. Aku harus bangkit, aku ingin melihat senyum mereka yang selalu ada untukku. Aku ingin lebih menyadari kehadiran mereka yang nyata dalam hidupku. Aku ingin sembuh dari sakit berkepanjangan ini. Aku ingin berlari kembali mengejar semua mimpi yang tertunda, terlunta oleh angan-angan tak pasti tentang kita.

Setelah semua berlalu. Saat aku telah mampu merelakanmu, aku pun sudah terbiasa dengan kesendirianku, menikmati tiap jengkal napas yang lebih damai tanpamu. Segalanya telah menjadi sebuah pelajaran berharga tentang bagaimana bangkit ke puncak keberhasilan dari palung keterpurukan. Dan sekarang, setelah waktu dan ruang berganti, di kafe sebuah mall di kota yang jauh dari desa kita, jauh dari bayangan kita sebelumnya, kamu duduk di hadapanku! Kita berhadapan. Aku mencoba menatapmu dan yang kutemukan masih sama: rasa itu.

Tidak ada kata-kata, hanya kecanggungan yang melanda...

"Kamu sekarang pake kerudung nambah cantik, Fi," Katamu sambil tersipu, memecah keheningan.
Aku tersenyum, "Makasih,"
"Makin seneng liat kamu sekarang," katamu dengan senyum tulus.
Aku heran sekaligus senang mendengar itu. "Makin seneng gimana tuh maksudnya?"
Kamu tersenyum, senyum yang sama manisnya seperti dulu.
"Iya, sekarang kamu udah jadi mahasiswi. Udah jadi wanita yang luar biasa,"
"Emang sebelumnya aku gimana?"
"Iya, dulu kan kamu masih SMA, masih abg. Nggak dewasa kayak sekarang," katamu sambil tersenyum dan menunduk menatap cangkir cappucino yang kamu genggam.
Entah bagaimana, aku merasa bahwa kamu menyiratkan sesuatu dari ucapan itu.
"Ooh, jadi dulu aku nggak dewasa? gitu?" aku memberi tanggapan dengan maksud bercanda.
"Ya, nggak juga sih. Maksudnya sekarang lebih dewasa lagi, gitu,"
Aku tersenyum, "Ya, syukur deh kalo keliatan begitu,"
"Kamu emang hebat, Fi. Dari dulu nggak berubah,"

Apa maksud perkataannya itu? Aku menatapmu dengan lebih tajam dan dahi berkerut. Kamu malah tersenyum.

"Iya, kamu hebat. Semua tahu, kamu hebat. Dan setelah semua yang terjadi sama kita, kamu bisa jadi begini sekarang. Kamu hebat,"
"Maksudnya gimana sih, Mas?"
"Aku bangga pernah jadi bagian dari hidup kamu. Yaah, walaupun jadi bagian yang bikin surem,"
Kamu berhenti sejenak, seolah menimbang kembali kalimat yang akan kamu ucapkan. Sedangkan aku diam, menanti kalimat-kalimatmu selanjutnya.
"Aku udah bikin kamu yang bersinar, berprestasi, dan cemerlang... jadi redup... Aku juga yang ninggalin kamu dengan nggak jelas..."
Aku menangkap permohonan maaf dari nada ucapanmu. Kamu masih menunduk, memainkan krim cappucino dengan sendok, seperti tidak berani menatapku.

Aku tersenyum, ingin sekali berkata bahwa aku sungguh menyetujui semua ucapanmu.

"Ya udah lah, yang udah ya udah, Mas," akhirnya, kalimat itu yang keluar, seakan aku sedang mendamaikan hatimu yang kacau karena rasa bersalah dan kikuk pada pertemuan ini.

"Iya... Seneng liat kamu begini. Mungkin dulu kalau masih sama aku, kamu bisa lebih parah lagi dari waktu itu, Fi..."
"Maksudnya?"
"Ya kamu liat aku sekarang, bukan siapa-siapa, bukan apa-apa. Kerja juga jadi kuli. Dari dulu, aku udah sadar, kalo aku nggak pantes buat kamu. Kamu itu perempuan hebat, kamu berhak dan harus dapet yang lebih dari sekedar aku lah,"

Kamu begitu merendah, dan entah bagaimana kata-kata itu menusuk hatiku. Aku teringat saat-saat kamu menelponku untuk memutuskan bahwa kita berteman saja.

"Aamiin, deh Mas," jawabku singkat, masih menunggu apa yang akan kamu ucapkan lagi.

"Waktu itu kamu masih sekolah, nggak seharusnya kamu kebawa sama keadaan aku yang nggak jelas... Apalagi sampe prestasi kamu turun hanya karena pacaran, Fi... Orang tua kamu dan semua orang yang sayang sama kamu, pasti sedih..."

Aku tersenyum, mengakui kebenaran kata-katamu.

"Mereka pasti pengen yang terbaik buat kamu, Fi..."
"Iya, Mas,"
"Dan bener kan? Kamu emang hebat. Kamu bisa kayak sekarang setelah semuanya,"
Aku tersenyum getir. Seolah mudah sekali dia mengatakan bahwa aku hebat, padahal untuk semua itu aku butuh perjuangan yang luar biasa. Untuk menutupinya, aku pun akhirnya terkekeh.
"Hebat apanya, Mas?! Galau mulu, iya! Hehehe,"
Kamu tersenyum, "Dan udah bisa kamu atasin, kan? Nggak kayak aku..."

Aku terkejut dengan kalimat terakhirmu, tapi tiba-tiba kamu mengubah topik pembicaraan,

Dalam diam, tiba-tiba ingin kukatakan bahwa aku pun masih percaya pada sinar matamu, pada kesungguhan kata dan hatimu yang memancarkan ketulusan perasaanmu. Tetapi seperti ada jurang pemisah di antara kita. Mungkin waktunya yang tidak lagi tepat, mungkin karena kita memang telah berbeda. Aku tidak mau jatuh ke lubang yang sama, melepaskan semua yang kupunya dengan kerelaan yang terpaksa. Aku tidak ingin menangisi kegagalan lagi, hanya karena asmara remaja yang memabukkan sementara, namun menyita segala cita-cita muda. Kurasa cukup saja. Aku sudah relakan semua, perasaanku padamu sudah berada dalam dimensi yang berbeda....

Tibatiba pertanyaan itu terlontar dari mulutku

Obrolan berlanjut pada pekerjaanmu sekarang di salah satu mall besar di ibukota dan bagaimana kamu menjalaninya dengan senang hati walau tidak mudah. Kita juga tidak membicarakan masih ada perasaan di antara kita atau tidak. Lagi, entah bagaimana aku tahu, bahwa perasaan itu masih ada. Perlahan aku sadari, bahwa obrolan kita bukan tentang kembali seperti dulu atau bernostalgia mengenang masa lalu. Tapi ini tentang bagaimana cara kita menjalani rasa itu dengan cara baru.

Suatu cara bahwa kamu menyayangiku dengan tulus, melepasku demi kebaikanku. Suatu kesadaran bahwa bagaimanapun dulu aku pernah sangat ingin bersamamu, sekarang tidak lagi begitu. Suatu pengertian bersama bahwa apapun yang dulu menjadi alasan kita penah bersatu, kini menjadi hikmah kehidupan tentang harapan dan cinta yang berliku.

Ah... Memang benar... Jika dulu kamu tidak meninggalkanku, aku tidak akan belajar untuk bangkit dari jurang keterpurukan. Andai pun kita masih menyatu, belum tentu juga keadaanmu lebih baik dari sekarang. Mungkin begini cara-Nya menjawab doa-doaku, dan mungkin juga doa-doamu untukku. Aku pun tidak lagi menyesali keterpurukanku. Bisa jadi, jika aku tetap 'bersinar' saat SMA dan baru mengenal asmara saat kuliah, lalu berlebihan dan jatuh... Maka itu akan lebih parah. Dan perlahan aku juga menyadari, bahwa selain karena ingin menyelesaikan masalah-masalahmu sendiri, alasan lainnya kamu pergi adalah karena kamu ingin aku 'bersinar' kembali....

"Maaf, aku ada kuliah satu jam lagi. Aku mau balik ke kampus."
Setelah lama berbincang di kafe siang mendung itu, aku berpamitan. Memang, ada kuliah siang itu. Tapi alasan utama aku pergi adalah karena aku tidak tahan lagi. Aku tidak tahan lagi untuk semakin menyadari bahwa setelah sekian lama, aku menemukan dirimu dengan perasaan untukku yang sama.

"Oh gitu, oke deh. Makasih ya, ngobrolnya,"
"Sama-sama, makasih juga traktirannya. Lain waktu bisa lanjut lagi ya,"
"Oke,"
Aku mulai beranjak dari tempat duduk saat rintik gerimis datang. Kita sama-sama memandang ke luar kaca kafe.
"Yah, mulai ujan, Fi. Kamu bawa payung?"
Aku menggeleng. Lalu kamu membuka tasmu, dan mengeluarkan sebuah payung.
"Nih, pake aja,"
Aku belum menjawab, mempertanyakan bagaimana denganmu sendiri.
"Tenang, aku ada jaket kok, lagian sebentar lagi aku juga masuk shift kerja," katamu tulus menenangkan.
"Ya udah, buruan. Mumpung ujannya belom deres. Biar nggak telat juga nyampe kampusnya,"
Aku tersenyum, "Nggak usah, Mas, makasih,"
Kamu tampak kecewa, sementara gerimis semakin deras.
"Jangan gitu, Fi. Kita kan temen,"
Aku memandang wajahnya, mencari kejujuran. Tidak kutemukan. Aku hanya melihatmu meletakkan payung itu di meja, lalu kamu sibuk menutup kembali resleting tasmu dan bersiap memakainya. Aku tidak bisa melihat sinar matamu yang kamu sembunyikan pada tas itu. Orang bisa menutup resleting tasnya tanpa melihat, sedangkan kamu melakukannya seolah itu adalah pekerjaan berat yang butuh kejelian mata. Apa yang kamu sembunyikan?

Aku masih diam sampai kamu selesai dan wajahmu menghadapku. Aku menatapmu.
"Pake aja payungnya, nih, aku ada jaket kok,"
"Bener?"
"Iya. Sebener kalo aku tuh bukan yang terbaik buat kamu," Lalu kamu tertawa.
"Apa deh!" Aku pun ikut tertawa.
"Ya udah, aku pake dulu ya, Mas,"
"Iya, pake aja."

Kafe kopi mall ini semakin ramai. Beberapa orang masuk, sedangkan kita berjalan keluar. Di teras kafe, aku membuka payung dan bersiap pergi. Aku menengok padamu sebentar, sedangkan kamu sedari tadi menatapku lama. Aku tersenyum dan mengucap salam, lalu meninggalkanmu di teras kafe. Sebentar lagi kamu harus memulai pekerjaanmu, sementara aku berjalan di tengah hujan. Ada kelegaan dalam kalbu, ada juga rasa haru. Tapi aku tetap melangkah, dan kusadari bahwa aku tersenyum dalam syukur atas segala hikmah...


Kamu benar. Dulu kita tidak seharusnya berlebihan dalam menjalani apa yang kita rasakan. Kita tidak perlu memaksakan apa yang belum seharusnya kita jalankan. Kita terlalu terbawa gejolak asmara masa muda. Kita belum dewasa, namun berkelakuan layaknya pujangga jatuh cinta. Sekarang, kita lihat bagaimana akhirnya kita bertemu kembali di bawah takdir Sang Maha Segala. Maka biarkan senandung hujan menjadi saksi bahwa kita berteman saja. Alirannya yang tulus telah membasuh rasa cinta yang pernah ada, mengubahnya menjadi bijaksana. Rasa cinta yang kita rasakan bersama, namun dengan cara yang berbeda. Cinta sebagai teman biasa.

Kita telah dewasa, kita telah belajar mengambil hikmah dari cinta dan harapan kala remaja. Sekarang, kita juga telah mengerti arti cinta yang sebenarnya. Dalam diam, kita menghargai cinta, dan menjaga jati dirinya.

"Cinta adalah tentang kebaikan, mengajarkan kita hal-hal yang baik, menjadikan kita lebih baik, dan memberi yang terbaik. Jika hal tidak baik, kehancuran, dan keterpurukan yang kita bagi, maka itu bukanlah cinta. Mungkin waktu yang terlalu cepat, mungkin orangnya yang tidak tepat, mungkin caranya yang kurang 'sehat'. Dan karena cinta adalah tentang kebaikan, maka seharusnya ia ada di waktu yang baik, dengan cara yang baik, dan bersama yang terbaik."



*Terinspirasi dari kisah nyata. Nama tokoh disamarkan untuk kepentingan keamanan privasi. Semoga memberi hikmah ^ ^

Selasa, 17 Maret 2015

Sang Angin: Berhembus di Perpustakaan

Aku masih mencuri-curi pandang pada Mas Bimo, yang tampak begitu sibuk dan serius dengan korannya. Sementara aku di sini masih berpura-pura sibuk mencari buku bacaan. Aku akhirnya mengambil buku fisika, karena kupikir mungkin sebaiknya aku membaca bagian materi yang sekarang sedang diajar Bu Laini di kelas. Meskipun, semalam aku pun sudah membacanya di rumah. Aku baru saja akan berjalan dan duduk kembali, saat Bu Erni masuk dengan senyumnya yang sumringah. Aku mengurungkan niatku dan mengembalikan buku fisika itu ke rak buku-buku mata pelajaran. Mas Bimo juga mendongak, lalu melipat koran di tangannya, dan meletakkan koran itu di meja. Bu Erni memandang kamu berdua, lalu aku segera duduk di sebelah Mas Bimo.

"Bimo, Ratih,"
"Iya, Bu,"
"Maaf memanggil kalian keluar kelas pelajaran. Oke, langsung saja yah. Ada lomba mata pelajaran tingkat kabupaten. Ibu sebagai guru Biologi harus memilih perwakilan dari sekolah kita. Nah, Ibu mau kalian berdua belajar dan mempersiapkan diri untuk lomba itu. Nanti Ratih belajar saja sama Mas Bimo mengenai materi Biologi kelas 2. Bimo, nanti ajarin Ratih, ya?!"

Aku dan Mas Bimo terdiam. Lebih tepatnya, aku terkejut. Aku?! Mengapa aku?! Bukankah aku masih kelas 1 ??! Mas Bimo kulihat juga gugup. Tapi dia berusaha tetap tenang. Bu Erni tersenyum memahami keterkejutan kami.

"Nggak papa, kan bisa belajar dulu. Kebetulan untuk yang Fisika, ada Nurul temen sekelas kamu, Bimo. Yang Matematika juga dari teman sekelas kamu, si Didik. Jadi nanti Ratih pokoknya belajar saja dulu sama Mas Bimo, ya. Ibu soalnya senang melihat buku catatan biologi kamu tempo hari. Ternyata kamu rajin merangkum, bahkan sampai bab yang belum diajarkan di kelas. Jadi Ibu percaya, Ratih bisa belajar lebih jauh."

Aku teringat saat minggu lalu Bu Erni selesai mencatat di papan tulis depan kelas, beliau berjalan berkeliling di antara bangku-bangku siswa, lalu beliau berhenti di sebelah mejaku dan Yanti. Beliau memperhatikan buku catatanku, lalu memintanya. Beliau membuka-buka buku catatanku, dan membacanya sambil tersenyum. Aku dan Yanti hanya bertatapan bingung.

"Bagaimana, Ratih?"
Pertanyaan Bu Erni mengagetkanku lagi.
"Oh, iya Bu,"
Tampaknya beliau mengerti bahwa aku gugup.
"Sudah, nggak papa. Pokoknya kamu belajar aja bareng Mas Bimo, yah? Jadi untuk seminggu ini, kalian nggak usah ikut pelajaran. Setelah bel masuk, kalian ke perpustakaan saja. Kalian pelajari materi-materi kelas 1 dan 2. Nanti Ibu atau guru Bilologi lainnya juga datang membantu. Bimo nanti bantu Ratih juga ya?"
Mas Bimo mengangguk sopan.
"Ya sudah kalau begitu. Kalian boleh kembali ke kelas masing-masing, terima kasih ya,"
"Sama-sama, Bu."
Aku dan Mas Bimo menjawab bersamaan dengan senyum seramah senyum Bu Erni.

Iya, aku merasa ada kesejukan lain yang menyelinap ke dalam hati. Jadi, mulai besok, aku akan menghabiskan sepanjang hari bersama Mas Bimo di perpustakaan? Seharian! Aku akan membaca dan menanyakan apapun yang aku mau tahu darinya. Aku akan mendengar dengan seksama semua penjelasan darinya, aku akan menatap dia saat menerangkan padaku apa yang aku belum paham. Aku akan memperhatikannya saat dia membaca dengan serius, entah untuk mencari jawaban atas kebingunganku, atau kebingungannya sendiri. Pokoknya, aku akan belajar banyak karenanya, olehnya, dan... Bersamanya.


"Ra, ayo balik ke kelas," ajaknya padaku yang sempat terpaku.
"Iya, Mas,"

Aku kembali berjalan beriringan kembali ke kelas. Kami sama-sama tidak menyangka akan penunjukkan ini. Dia juga sibuk mengucapkan kata-kata untuk merendah, sedangkan aku baru sadar, bahwa ini adalah hal yang tidak biasa. Aku akan menjadi perwakilan sekolah untuk sebuah lomba! Entah bagaimana, rasa bangga itu bercampur aduk dengan rasa senangku karena akan belajar bersama Mas Bimo, menghasilkan tekad yang kuat dalam diriku. Di sela-sela celoteh merendahnya, aku juga mengatakan kejujuranku bahwa aku sendiri benar-benar belum mengerti apa-apa tentang materi kelas 2.

Aku benar-benar masih buta dengan materi kelas 2. Materi kelas 1 juga belum aku kuasai semuanya. Aku harus banyak membaca, berlatih, dan bertanya. Aku harus mengejar materi, paling tidak aku membaca sampai materi Biologi kelas 2 yang sekarang sedang dipelajari Mas Bimo. Aku bersemangat. Di tikungan lorong saat aku harus berpisah dengannya, aku aku beranikan diri mengatakan sesuatu.

"Ajari aku ya, Mas, hehehe,"
"Iya, kita belajar sama-sama aja deh, Ra, hehehe,"

Kemudian dia berlalu, kembali ke kelasnya. Aku pun berjalan ke kelasku. Senyum senang, tapi hati berdebar karena tegang. Tapi aku sadari, bahwa hanya akan ada satu orang saja yang menjadi perwakilan. Iya, hanya satu. Entah bagaimana, walaupun aku masih kelas 1, keinginan untuk mengalahkan Mas Bimo muncul dalam hati. Ah, tapi bagaimana bisa? Langkahku melambat seiring pikiran itu muncul dan menguasai konsentetariku. Ah, apapun itu, aku akan tetap belajar. Jika Mas Bimo yang terpilih, itu wajar. Jika aku yang terpilih, maka hal yang tidak biasa ini akan menjadi luar biasa. Hal yang terpenting adalah aku belajar dan berusaha... Bersamanya!!
Maka aku kembali tersenyum dan melangkah cepat menuju kelas karena mulai besok, saat aku belajar bersamanya, akan kurasakan angin sejuk persawahan yang berhembus di perpustakaan. Angin lembut yang mengayunku dalam khayalan dan harapan... ^ ^


credit gambar: Kuch Kuch Hota Hai "Tina"

Selasa, 10 Maret 2015

Sang Angin: Bertiup ke Perpustakaan

Sudah penghujung malam, tetapi aku belum bisa terlelap. Entah mengapa aku tiba-tiba tertarik untuk membuka lemari pakaianku, memeriksa rak paling bawah yang telah begitu lama terabaikan karena kesibukan. Aku bangkit dan berjalan menuju lemari. Aku sengaja duduk bersila di hadapan rak paling bawah itu karena aku tahu, aku mungkin akan menghabiskan waktu yang lama untuk melihat-lihat isinya. Di sana ada tumpukan buku yang sudah lama tidak kubaca.

Buku-buku itu bukan sembarang buku. Itu adalah buku-buku yang tidak aku tumpuk ke dalam kardus bersama buku-buku pelajaran sekolah di gudang. Bukan juga buku bacaan yang aku bariskan bersama deretan buku di buffet ruang keluarga. Bukan juga buku favoritku yang aku tata rapi di rak buku kamar bersama novel, bacaan astronomi, buku bacaan religi, dan lainnya. Ini adalah tumpukan buku sejarah. Sejarah hidupku, yang menjadi saksi perjalanan kisahku.

Aku mengambil setumpuk buku itu, mengangkatnya dan bangkit membawanya ke meja. Aku menarik kursi, lalu duduk dan bersiap membaca kembali perjalanan hidupku. Aku menguraikan tumpukan itu, melihat berbagai warna dan macam-macam gambar sampul buku harianku yang berupa buku tulis anak sekolah. Aku tersenyum, karena begitu juga perjalanan hidupku: penuh warna dan bermacam lika-liku. Aku masih ingat, setiap kali habis, aku segera menyiapkan buku pengganti. Kadang bertepatan dengan tahun baru, kadang juga tidak. Kadang aku begitu rajin menulis apa yang aku alami setiap hari hingga buku itu cepat penuh dan habis. Kadang juga aku hanya menulis sekedarnya, sehingga ada buku yang lama habisnya, bahkan pada setiap tanggal, aku hanya menulis beberapa kalimat dan tulisan berikutnya aku lakukan pada tanggal yang berselisih cukup banyak. Hehehe...

Aku tersenyum saat membuka-buka dengan sekilas buku-buku itu, hingga sesuatu membuatku terpaku. Sebuah foto tiba-tiba terjatuh dan mendarat di lantai kamar dengan senyum yang manis. Aku mengambil foto itu, lalu menatapnya. Di foto itu ada aku, ada juga beberapa anak lainnya yang bergaya. Kami berfoto di tangga sebuah bangunan tempat kami dikarantina untuk belajar habis-habisan, mempersiapkan diri dalam sebuah ajang olimpiade sekolah menengah atas. Di dalam itu juga ada dia. Seseorang yang namanya telah begitu banyak kusebut dalam torehan penaku di buku harian. Memandang foto itu, membuatku ingin membuka catatan-catatan tentangnya dalam buku-buku ini. Membacanya kembali berarti mengalirkan kenangan-kenangan yang berkelebat dengan jelas dalam ingatan. Semua torehan penaku, seperti bercerita kembali mengenai kisah itu.
Kisah hikmah dari harapan dan cinta pada Sang Angin...

2004

Aku masih ingat pagi itu. Pagi yang cerah, saat anak-anak kampung berangkat ke sekolah di dekat area sawah. Aku dan teman-temanku berjalan bersama menuju gerbang sebuah sekolah menengah pertama. Mulutku terus bercerita dengan semangat tentang film seru yang kutonton semalam, hingga lembur. Tiga orang temanku begitu antusias mendengarkan, sesekali mereka bertanya dalam kekaguman. Dua puluh meter lagi menuju gerbang sekolah. Aku secara refleks mengarahkan pandangan mata ke jalan kecil dekat pematang sawah di seberang jalan desa depan sekolah. Aku menatap jalan itu, mataku menanti. Hatiku berharap. Tapi, mulutku tak berhenti bercerita, berbusa-busa. Dan benar saja, seorang cowok muncul dari sana, membuat mataku berbinar-binar, lalu ada rasa membuncah di hatiku. Seperti ombak pantai selatan.... Padahal saat itu aku belum pernah ke pantai selatan! Aku terus bercerita, sampai benar-benar berbelok masuk ke gerbang, dan aku lihat terakhir kali pagi itu, cowok dengan tas oranye yang muncul dari jalan kecil dekat pematang sawah itu juga berjalan hendak memasuki gerbang sekolah yang sama...

Aku tidak ingat kapan pertama kali tepatnya aku mulai tertarik dengan kakak kelasku itu. Si cowok dengan tas oranye, yang kulitnya putih bersih, alisnya tebal, matanya sipit seperti keturunan Cina padahal bukan, dan rambutnya yang ikal. Apa sejak aku dan dia bersama-sama masuk dalam jajaran pengurus OSIS? atau sejak latihan pertama regu Pramuka inti sekolah? Atau keduanya? Aku sungguh lupa, tapi aku yakin bahwa kedua organisasi itulah yang membuatku kenal dengan dia. Aku paham benar, untuk cowok itu, aku bukanlah seorang gadis yang patut diperhitungkan. Siapa aku?? Gadis berkulit lebih gelap, kusam, perawakanku kurus walaupun agak sedikit tinggi, rambut panjangku kemerahan dan kering. Aku juga bukan anak seorang priyayi yang terpandang di sekolah ini, bahkan di desa ini. Bukan siapa-siapa. 

Aha, tapi ini bukanlah cerita seorang gadis cupu yang merindu seorang pangeran primadona. Bukan. Tidak berlebihan seperti itu. Dengan semua tampilan fisik yang apa adanya, aku termasuk salah seorang siswi yang diperhitungkan di sekolah terpencil ini. Jangan salah. Nilaiku selalu di atas rata-rata. Guru-guru suka memuji aku. Teman-teman juga tidak meremehkan aku. Mereka baik-baik. Iya, aku diperhitungkan. Dan ternyata, aku diperhitungkan... Bersama dia...

"Ratih, kamu diminta menemui Bu Erni. Dan jangan lupa untuk mampir ke kelas 2A"
Demikian sabda Bu Laini, guru Fisika yang baru masuk ke kelasku siang itu. Beliau menyampaikan pesan agar aku menemui guru Biologi, saat itu juga, dan aku sekalian diminta mampir ke... Mana? Ya Tuhan, apa aku tidak salah dengar?? Ke kelasnya! Memanggilnya! Adakah yang salah dengan pendengaranku??

Tidak.

"Kalian berdua di tunggu Bu Erni di perpustakaan,"
Selesai. Aku diminta memanggil dia di kelasnya, dan membawanya menemui Bu Erni. Sempurna. Aku gugup.

Yanti, teman sebangkuku yang tahu perasaanku, menatapku antara terkejut, senang, dan ikut gugup. Kalau tidak ada guru, tidak sedang jam pelajaran, dan tidak di kelas, mungkin Yanti yang heboh itu sudah melonjak memberi selamat dan mendorongku untuk segera pergi ke kelas cowok itu, memanggilnya, dan menculik membawanya ke perpustakaan. Iya, dari mimik wajah Yanti, aku tahu, dia ingin melakukan itu, tapi dia sedang berusaha menahan diri. Di sini, aku juga sibuk menahan diri dari rasa lemas.... Zzzzzz....

Aku menyusuri lorong-lorong kelas. Sepi. Ini jam pelajaran, jelas tidak ada siswa berkeliaran. Aku menghitung setiap langkah menuju kelasnya, yang katanya adalah kelas favorit untuk Kelas 2. Aku berjalan lebih cepat, berusaha membuang gugup dengan pertanyaan ini: Ada apa aku dipanggil guru Biologi?? Ada masalah?? Apa hubungannya dengan dia?????

Tok tok tok...

Aku mengetuk pintu ruang kelasnya, Sedang pelajaran seni. Setiap anak memegang alat musik. Dia juga memegang alat musik: gitar. Milik siapa?? entah! Pastinya, cowok yang sedang bermain gitar selalu mempunyai kesan tersendiri, seolah dia sedang menyanyikan lagu cinta untukku. Ah, untung saja aku ingat bahwa aku sedang di pintu sebuah kelas, yang lalu semua mata siswa di kelas itu tertuju padaku. Ditambah juga mata guru yang sedang mengajar di sana. Berasa Putri Indonesia? Tidak. Aku berasa mau pingsan saja...

"Ibu, maaf, saya diminta Bu Laini untuk memanggil Mas Bimo menemui Bu Erni,"
Ibu Sriati tersenyum dan memanggil Mas Bimo. Beliau baru teringat bahwa beliau juga sebenarnya diminta menyampaikan pesan pada Bimo untuk menemui Ibu Erni pukul 11 siang itu.

Maka Mas Bimo memberikan gitarnya pada salah seorang teman, dan berpamitan pada Bu Sriati, lalu berjalan dengan gerakan yang mantap, ada sinar-sinar terpancar dari badannya, dari senyumnya, dari tatapan matanya... Dan, dia berjalan menuju aku!
Bukan.
Dia menuju pintu, hanya saja di sana ada aku yang berdiri mematung. Gugup.

Aku sadar, lalu berpamitan dan berterima kasih pada Bu Sriati, kemudia buru-buru berjalan. Dia pun mengiringi langkahku... Ya Tuhan!

"Kenapa ya, kok dipanggil Bu Erni?"
"Nggak tau, Mas, hehehe,"

Perpustakaan juga sepi, hanya ada Bu Wati, penjaga perpustakaan yang sering terlihat galak, tapi sebenarnya beliau sangat baik hati. Aku dan Mas Bimo masuk. Bu Wati menatap kedatangan kami, dan aku kikuk akan ditanya macam-macam padahal aku juga tidak tahu untuk apa diminta ke perpustakaan di jam pelajaran ini, apalagi berduaan! Apa yang ada di dalam pikiran beliau nati? Ternyata tidak, beliau tahu bahwa kami dipanggil Bu Erni.

"Baca-baca saja dulu, saya panggil Bu Erni, ya," kemudian Bu Wati keluar, menuju ruang guru.

Kikuk yang tadi sudah hilang, tapi ada rasa kikuk yang baru. Nah, sekarang aku dan Mas Bimo hanya berdua saja di perpustakaan ini. Aku terdiam, menerka-nerka apa yang akan terjadi. Aku juga memikirkan materi yang sekarang sedang diajarkan Bu Laini di kelas. Aku bertanya-tanya bagaimana dengan tugasku? Seharusnya Yanti membuka tasku, mengambil buku tugas Fisikaku, dan mengumpulkannya pada Bu Laini. Dia tahu aku sudah mengerjakan. Dia menyontek pekerjaanku tadi pagi!

Baiklah... Berdua saja dengan Mas Bimo di perpustakaan. Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku katakan? Atau... Apa yang akan dia lakukan? Apa yang akan dia katakan? Apa yang akan terjadi? Aku tidak tahu. Oh, aku belum tahu... Aku hanya bisa berharap-harap cemas...
Aku mencuri-curi pandang padanya, sementara dia berjalan ke rak koran, mengambil koran, lalu kembali dan duduk.
"Kira-kira kenapa ya? Kamu nggak tahu, Ra?"
"Nggak, Mas."
"Yaudah, kita tunggu aja deh, sambil baca-baca,"
Dia mulai membolak-balik koran di tangan, dan membacanya. Aku juga beranjak ke rak buku, mencari buku bagus yang bisa aku baca sambil menunggu. Aku sesekali mencuri pandang lagi padanya. Dia mungkin merasakan pandangan mataku, lalu melirik. Tapi, aku tidak pintar menghindar. 

Kemudian aku merasakan sesuatu yang tidak biasa akan terjadi...


Waktu pun pelan-pelan bergulir dengan pasti... Benar saja, yang tidak biasa memang terjadi. Tidak terlupakan, begitu berkesan di hati. Sementara aku masih sesekali memandangnya, aku rasakan angin dari persawahan dekat sekolah bertiup sepoi-sepoi menggoda dedaunan dan masuk ke perpustakaan...
^ ^

credit gambar: Film 'Ada Apa Dengan Cinta'