Ciiiiiiiiiiiiit!!!!
Praaaakkk!!!
Bruuuuuggg!!!!!
Entah dari mana, suara decit
rem truk dan dentuman motor yang melayang jatuh bersama si pengendara
berkelebat di depan matanya tanpa sempat ia menghindar. Motor dan si pengendara
terlempar keras, bahkan berada beberapa meter di hadapannya. Dara merasa
seluruh sendi di tubuhnya lolos, hingga ia hanya terpaku dalam napas yang
serasa hilang. Dara tidak sadar apapun, matanya hanya tertuju pada si
pengendara yang terbaring. Tangannya berusaha meraih pegangan pada motornya
yang sudah roboh, rusak. Lalu kepalanya yang tak lagi berhelm itu berusaha
mendongak, menampakkan wajahnya yang penuh darah. Dara melihat mata sayu itu,
yang lalu terpejam bersama tubuh si pengendara yang kembali lunglai di atas
aspal. Dara baru menyadari apa yang terjadi, setelah orang-orang berlarian
menggapai si pengendara, beberapa ribut memanggil ambulance. Dua orang polisi
lalu lintas segera datang, dan seorang wanita separuh baya tiba-tiba sudah
menggenggam lengan kanannya.
“Mbak? Nggak papa?”
Dara menoleh bingung.
Wanita itu menuntun Dara untuk
berdiri, dan menariknya agak menjauh dari keramaian. Wnita itu mengajak Dara
duduk menepi di trotoar, lalu menawarinya sebotol air mineral. Dara masih
gemetar saat mendekatkan ujung sedotan ke bibirnya. Orang-orang masih ribut,
hingga si pengendara yang entah masih hidup atau tidak itu diangkat dan dibawa
pergi ambulance.
***
Di sebuah ruang ICU rumah
sakit, si pengendara tergolek dengan alat-alat medis yang membantunya bertahan
hidup. Tampak kedua orang tuanya di tepi ranjang. Tatapan mereka penuh dengan
kesedihan, rindu, kebingungan, dan yang mengambil porsi terbesar adalah
ketakutan.
***
Sore hari yang lain setelah
kejadian kecelakaan itu...
Dara termenung di tepi danau
yang terletak di kampusnya. Peristiwa kecelakaan kemarin sore entah mengapa
sangat mengganggu pikiran dan hati, hingga tak tahan untuk ia tulis pada buku
hariannya. Bayangan tentang tatapan si pengendara itu masih lekat dalam
ingatannya. Apa yang ada di dalam benak si pengendara? Mengapa dia menatap
langsung lurus padanya? Apakah dia meminta tolong pada Dara --yang sangat
disesali Dara bahwa Dara haya terpaku dalam kekagetan tanpa berbuat apa-apa-- ?
Jika iya, si pengendara bisa langsung mengarahkan tangan dan tatapannya pada kerumunan
orang di halte. Posisi ia terjatuh miring sangat tepat menghadap halte, tetapi
mengapa sia justru berusaha memutar badan agar menatap ke arah Dara? Apa yang
diinginkan si pengendara? Dara bahkan bertanya-tanya apakah dia masih hidup?
Iya, tentu saja Dara berharap si pengendara tetap hidup!
Lagipula, sepele sekali! Apa
yang dia inginkan sehingga harus menyeberang dan memotong jalan seenaknya,
sementara lalu lintas sedang tidak terlalu ramai, sehingga banyak kendaraan
melaju kencang? Apa dia tidak sempat melihat truk Fuso yang melaju tanpa ragu?
Apa dia juga tidak mengikatkan tali helm-nya dengan baik dan benar??
“Dhuarrr!!!”
Suara itu mengagetkan Dara.
Hingga kagetnya, Dara yang sedang duduk terdorong ke depan. Dalam gerak lambat,
Dara seperti melayang, sementara tanpa ia sadari buku hariannya terbang...
Dara terjatuh ke atas tanah beruput itu. Ia kesal.
Marah. Dara menengok pada sumber suara dengan sengit. Lalu bangkit dengan
dendam dan mata menyala-nyala...
Fian sepertinya segera tahu
bahwa candaannya tidak tepat waktu. Melihat Dara yang berapi-api berjalan ke
arahnya, memnuat Fian semakin ciut dalam takut. Tetapi kakinya tidak bergerak
untuk lari. Dia terus menatap Dara yang kian mendekat, sementara tangannya
sendiri mulai gemetar. Dan tiba-tiba, wajah Dara yang merah membara sudah ada
di depan matanya. Mata Dara yang penuh amarah itu menatap langsung ke dalam
mata Fian yang sipit dan berkaca-kaca karena takut.
“Hahahahahhaha!!!”
Gelak tawa keduanya meledak.
“Coba tadi gue shoot ekspresi
serem lu, Ra! Pantes lu jadi bintang film horor, jadi hantunya yang baru
bangkit dari kubur karena dendam!!”
“Lu juga tuh, mirip banget Bang
Bokir liat Suzanna, Hahahaha” Dara menimpali.
“Eh tapi lu berani lepas baju
nggak buat jadi artis horor? Kalo nggak, susah terkenalnya,” ucap Fian ngaco.
“Idih, emang gue kurang serem
apa??!”
“Nggak sih, tapi syarat hantu
jaman sekarang nggak cuma serem, tapi juga seksi. Biar judul filmnya menjual
gituuu,”
Dara terkekeh saja, lalu
katanya, “Lama banget lu ditungguin...”
“Sore, kuliah minor gue kalo
hari Selasa emang sampe sore gini... Oh iya, Ra, gue ada kabar kurang baik,”
“Apa?” Dara menatap serius.
“Hana, dia nggak masuk hari ini
karena sodara sepupunya kecelakaan. Dia baru kasih kabar karena nggak sempet
pegang HP dari kemaren. Lu tau kan? Yang kecelakaan di deket mall Indah kemaren
sore, itu ternyata kakak sepupunya Hana!!”
“Apa?!” Dara ternganga tidak
percaya. Dia tiba-tiba merasa agak pusing.
“Lu nggak papa, Ra?”
“Nggak, nggak papa, Fi...”
“Yaudah, kita nemuin Hana di
rumah sakit aja, dia dari kemaren di sana nemenin kakak sepupunya,”
Dara mengangguk, lalu segera
mengikuti langkah Fian yang berjalan cepat di depannya, meninggalkan tepi
danau...
Meninggalkan buku diary-nya
yang masih tergeletak di atas rumput....
***
Seseorang mengambil buku harian
Dara saat kondisi kampus telah pergi. Dia tidak sengaja melihat buku itu ketika
berjalan santai melewati jalan setapak di tepi danau kampus ini. Awalnya dia
tidak ingin peduli, paling nanti malam atau besok si pemilik akan mengambilnya
lagi kalau memang penting. Tetapi, petang itu langit tampak mendung. Hujan siap
datang. Kasihan sekali kalau buku itu basah kehujanan...
***
Benar saja, malam itu hujan turun dengan deras.
Dara berlari dari gerbang kosannya setelah keluar dari taksi yang ia naiki bersama
Fian sepulang dari rumah sakit. Sesampainya di depan pintu kamar, segera ia
keluarkan kunci dan membuka pintu kamarnya.
***
Bagas masuk ke kamar Iaz saat Iaz sedang asyik
online di laptopnya. Bagas buru-buru masuk, lalu melepas jaket jins-nya yang
basah di beberapa bagian.
“Lu, masuk aja bikin kaget gue!” Ucap Iaz kaget.
“Lu, pintu rusak, udah dikunci masih aja bisa
dibuka,” jawab Bagas dengan santai.
“Dari mana lu?” tanya Iaz, mengalihkan perhatiannya
dari layar laptop ke Bagas yang sedang mengibas-kibaskan jaket. Bagas belum
sempat menjawab, Iaz sudah menimpali.
“Abis jalan ya sama Gitaaa?” Iaz menggoda.
“Tau dari mana lu?”
“Ah, lu gimana sih jadi cowoknya Gita kok kayak
nggak tau aja. Dari balik kuliah aja dia udah rempong banget update status mau
jalan sama ayang,”
Bagas tersenyum, lalu katanya, “terus sekarang
statusnya apa?”
Iaz terdiam ragu.
“Status terkahirnya Gita,” Iaz menoleh lagi ke
layar laptop, lalu membaca yang menjadi pusat perhatiannya: “Gita Boekan
Goetawa: Kamu emang nggak peka L
“
Iaz menoleh lagi pada Bagas.
“Lu berantem sama Gita?”
Bagas berhenti mengibaskan jaketnya, menatap Iaz
heran.
“Nggak, tadi kita dinner, terus pas balik ujan
gitu, tapi biasa aja, tetep balik kok,”
“Maksud lu, uajn-ujan gitu lu tetep balik?”
“iya,”
“Nggak nunggu redaan?!”
“lah kan gue ada janji mau ngerjain tugas sama lu,”
“Ujan-ujan gitu, si Gita pake jaket nggak?”
“nggak,”
“Terus lu nggak tawarin dia pake jaket lu??!!”
“Gue tawarin, kok Iaz,”
Bagas teringat lagi saat-saat di lobby rumah makan ayam bakar yang
paling terkenal di kawasan itu, saat hujan mulai turun dan ia menawari Gita
untuk memakai jaketnya.
“Yang, ini paket jaket aku, dingin loh ujan-ujan
gini, kita kan mau motoran,”
“Nggak usah, Yang, nggak papa,”
Iaz penasaran, “terus lu jawab apa Gita bilang
gitu??”
“Yaudah,”
“-yaudah- yaudah gimana maksud lu Gas??”
“Ya... yaudah, dia nggak mau make, yaudah, gue yang
pake,”
“Nggak lu pakein langsung aja ke Gita gitu? Ke
bahunya???”
“Nggak, ntar gue dibilang cowok yang memaksakan
kehendak... Gue salah Iaz begitu??” Bagas mulai khawatir dengan tindakannya
tadi...
Iaz terdiam, berpikir, lalu menghela napas dan
mengelus dada...
“Apa Iaz? Gue salah yah??!!” Bagas makin ketakutan.
“Nggak,”
“Terus kenapa lu ngelus dada gitu??”
“Gue lega aja, berarti status Gita bukan buat lu,
Broh,” Iaz tersenyum lebar, Bagas pun demikian.
“Gue mah udah tau kalo Gita pasti seneng abis jalan
sama gue,” ucap Bagas bangga sambil menggantungkan jaketnya dengan sebuah hanger ke paku di belakang pintu kamar
Iaz.
“Eh, Iaz, lu lagi onlen?”
“Iya, kenapa?”
Bagas berjalan menuju tasnya yang di letakkan di
lantai dekat tempat tidur Iaz, lalu membukanya untuk mengambil sesuatu.
“Cariin ini dong?”
***
Dara masih kelabakan mencari buku diary-nya. Dia
membuka semua laci lemari, menurunkan semua barang-barang di mejanya, bahkan
mengangkat kasurnya untuk mencari buku pink itu. Tidak ada. Dara mulai panik.
Di mana buku diary-nya?? Dara berdiri di tengah kondisi kamarnya yang sudah
seperti kapal pecah dan menoleh ke sana-sini... Tidak ada...
Lalu tiba-tiba ingatan itu muncul.
Saat Fian mengagetkannya di tepi danau tadi sore.
Saat entah kapan, buku diary itu lepas dari tangannya. Yang ia ingat saat itu
adalah langsung berlatih acting menjadi bintang film. Ya Tuhan, obsesi itu
sekarang berdampak makin serius: membuat buku diary-nya hilang!!
Pintu kamar Dara terbuka dengan cepat, lalu Dara
keluar dari kamarnya dengan setengah berlari. Buru-buru ia mengunci pintu dan
menembus hujan yang masih mengguyur malam itu.
“Ke mana, Ra?” tanya seorang teman kosnya yang
sedang bersantai di depan TV.
“Ke kampus, Lan,”
Dara terpaksa berhenti sejenak untuk menanggapi
Wulan.
“Ngapain? Mau ditemenin?”
Dara berpikir sejenak. Dia takut kalau kelakuannya
malam-malam begini ke kampus demi mencari buku diary yang hilang karena obsesi
bintang film-nya itu akan membuat Wulan terpingkal-pingkal, maka dia putuskan
untuk pergi sendiri saja.
“Ng.. Nggak usah, Lan. Gue buru-buru,” Dara segera
berlari ke arah gerbang, lalu keluar.
“Ra??! Lu nggak bawa payung, Ra?!! Ra??!!” Wulan
berusaha memanggil Dara yang sudah tidak terlihat...
*bersambung